Pesta akhir tahun

apa itu epistemologi

Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub
Filsafat Ilmu (Epistemologi)
 EPISTEMOLOGI

1.        PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Istilah epistemologi didalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari kata “episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Menurut Dagobert D.Runes epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.
Jadi, Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.

2. OBJEK DAN TUJUAN ESTIMOLOGI
            Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan
Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.

3. LANDASAN EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan. Metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu.
Menurut Burhanudin Salam Metode ilmiah dapat dideskripsikan dalam langkah-langkah sebagai berikut :
(1)     Penemuan atau Penentuan masalah. Di sini secara sadar kita menetapkan masalah yang akan kita telaah denga ruang lingkup dan batas-batasanya. Ruang lingkup permasalahan ini harus jelas. Demikian juga batasan-batasannya, sebab tanpa kejelasan ini kita akan mengalami kesukaran dalam melangkah kepada kegiatan berikutnya, yakni perumusan kerangka masalah;
(2)     Perumusan Kerangka Masalah merupakan usaha untuk mendeskrisipakn masalah dengan lebih jelas. Pada langkah ini kita mengidentifikasikan faktor-faktor yang terlibat dalam masalah tersebut. Faktor-faktor tersebut membentuk suatu masalah yang berwujud gejala yang sedang kita telaah.
(3)     Pengajuan hipotesis merupakan usaha kita untuk memberikan penjelasan sementara menge-nai hubungan sebab-akibat yang mengikat faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah tersebut di atas. Hipotesis ini pada hakekatnya merupakan hasil suatu penalaran induktif deduktif dengan mempergunakan pengetahuan yang sudah kita ketahui kebenarannya.
(4)     Hipotesis dari Deduksi merupakan merupakan langkah perantara dalam usaha kita untuk menguji hipotesis yang diajukan. Secara deduktif kita menjabarkan konsekuensinya secara empiris. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa deduksi hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat dalam dunia fisik yang nyata, dalam hubungannya dengan hipotesis yang kita ajukan.
(5)     Pembuktian hipotesis merupakan usaha untuk megunpulkan fakta-fakta sebagaimana telah disebutkan di atas. Kalau fakta-fakta tersebut memag ada dalam dunia empiris kita, maka dinyatakan bahwa hipotesis itu telah terbukti, sebab didukung oleh fakta-fakta yang nyata. Dalam hal hipotesis itu tidak terbukti, maka hipotesis itu ditolak kebenarannya dan kita kembali mengajukan hipotesis yang lain, sampai kita menemukan hipotesis tertentu yang didukung oleh fakta.
(6)     Penerimaan Hipotesis menjadi teori Ilmiah hipotesis yang telah terbukti kebenarannya dianggap merupakan pengetahuan baru dan diterima sebagai bagain dari ilmu. Atau dengan kata lain hipotesis tersebut sekarang dapat kita anggap sebagai (bagian dari) suatu teori ilmiah dapat diartikan sebagai suatu penjelasan teoritis megnenai suatu gejala tertentu. Pengetahuan ini dapat kita gunakan untuk penelaahan selanjutnya, yakni sebagai premis dalam usaha kita untuk menjelaskan berbagai gejala yang lainnya. Dengan demikian maka proses kegiatan ilmiah mulai berputar lagi dalam suatu daur sebagaimana yang telah ditempuh dalam rangka mendapakan teori ilmiah tersebut.



3.1. Beberapa Jenis Metode Ilmiah
Menurut Burhanudin Salam beberapa jenis metode ilmiah yaitu :
1.    Observasi
Beberapa ilmu seperti astronomi dan botani telah dikembangkan secara cermat dengan metode observasi. Didalam metode observasi melingkupi pengamatan indrawi seperti : melihat, mendengar, menyentuh, meraba.
2.    Trial and Error
       Teknik yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan baik metode, teknik, materi, parameter-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi.
3.    Metode eksperimen
       Kegiatan ekperimen adalah berdasarkan pada prinsip metode penemuan sebab akibat dan pengajuan hipotesis. Peranan metode ini adalah hanya untuk membedakan satu faktor atau kondisi pada suatu waktu, sedangkan faktor-faktor lainnya diusahakan tidak berubah atau tetap.
4.    Metode Statistik
       Istilah statistik berarti pengetahuan tentang mengumpulkan, menganalisis dan menggolongkan data sebagai dasar induksi. Metode statistik telah ada sejak lama, yaitu untuk membantu pemimpin dan penguasa mengumpulkan data tentang penduduk, kematian, kesehatan dan perpajakan. Metode statistik ini telah berkembang dan lebih menarik minat lagi, sehingga metode statistik dipakai dalam kehidupan sehari-hari misalnya perdagangan, peredaran uang dan lain sebagainya. Statistik memungkinkan kita untuk menjelaskan sebab dan akibat dan pengaruhnya, melukiskan tipe-tipe dari fenomena-fenomena dan kita dapat membuat perbandingan-perbandingan dengan mempergunakan tabel-tabel dan grafik. Statistik juga dapat meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang dengan tingkat ketepatan yang tinggi.
5.    Metode Sampling
       Terjadinya sampling, yaitu apabila kita mengambil beberapa anggota atau bilangan tertentu dari suatu kelas atau kelompok sebagai wakil dari keseluruhan kelompok tersebut dapat mewakli secara keseluruhan atau tidak. Seandainya bahan yang akan kita uji itu menunjukkan kesamaan jenisnya melalui sebuah sampel dapatlah diperoleh hasil dengan ketepatan yang tinggi.
6.    Metode Berpikir Reflective
       Metode reflective thinking pada umumnya melalui enam tahap, yaitu :
       a. Adanya kesadaran kepada sesuatu masalah
       b. Data yang diperoleh dan relevan yang harus dikumpulkan
       c. Data yang terorganisasi
       d. Formulasi Hipotesis
       e. Deduksi Hipotesis
       f. Deduksi harus berasal dari hipotesis
       g. Pembuktian kebenaran verifikasi

3.2. Teori-Teori Kebenaran
Menurut Endang Saifuddin Anshari (dalam H. Mumuh M. Zakaria, 2008) Teori kebenaran dapat ditentukan dengan :
1.        Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) :
a.         Kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
b.         Suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya.
Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Polan adalah seorang manusia.Si Polan pasti akan mati.” “Sukarno adalah ayahanda Megawati. Sukarno mempunyai puteri. Megawati adalah puteri Sukarno”.
Teori ini dianut oleh mazhab idealisme. Penggagas teori ini adalah Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya dikembangkan oleh Hegel dan F.H. Bradley (1864-1924).
2.        Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth):
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernya-taan tentang sesuatu dengan kenyataan sesu-atu itu sendiri.
Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”.
Teori ini digagas oleh Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Penganut teori ini adalah mazhab realisme dan materialisme.
3.    Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth):
“Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies).
Pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce (1839-1914) dan William James.
Kritik: betapa kabur dan samarnya pengertian berguna (usefull) itu.

4.       RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok ; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Mengingat epistemologi mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang diketahui dibidang tertentu.
Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan.
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat, khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan menajamkan pemahaman epistemologi, tentunya tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan tetapi epistemologi dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen yang terkait langsung dengan “bangunan” pengetahuan.

5.      EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
Epistemologi diperlukan dalam pendidikan antara lain salah satunya dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyempaikannya seperti apa? Semua itu adalah epistemologinya pendidikan. Lahirnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) adalah salah satu usaha baik dari pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor.
Melihat kondisi ini, dilihat dari sudut epistemologi adalah seharusnya pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak didik?. Hal ini tentu terkait dengan pengetahuan kita akan kebutuhan yang diperlukan anak didik. Harus mengetahui dan memahami berbagai kemampuan atau kelebihan atau kecerdasan yang dimiliki anak. tidak bisa semua siswa diberlakukan sama.
Bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Pada dunia pendidikan cara memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan justru pada sekolah-sekolah swasta yang pada dasarnya tidak ingin tergantung pada kapitalisme semata. Mereka mendidik anak-anak dengan mengembangkanpotensi yang ada dengan harapan anak-anak bisa berkembangan secara maksimal. Cara tradisional, guru dianggap sebagai pusat segala-galanya. Guru yang paling pandai dan gudang ilmu. Siswa adalah penerima. Cara model sekarang, banyak diantaranya mengembangkan metode active learning untuk memacu kreativitas dan daya inisiatif siswa. Guru hanya sebagai fasiltator saja. Guru mengarahkan siswa. Siswa dapat memperolehnya melalui diskusi, problem based learning (PBL), pergi ke perpustakaan, belajar dengan e-learning (internet), membaca dan sebagainya. Cara-cara seperti ini akan memacu potensi siswa daripada siswa diperlakukan hanya sebagai objek yag pasif saja.
Bagaimana cara menyampaikannya?. Pertanyaan ini terkait dengan kompetensi guru serta metode atau gaya pengajaran yang mereka terapkan. Cara penyampaian cukup mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar. Salah satu contoh SD Kreatif. SD ini memberikan pengajaran yang unik. Kadang guru memberikan pendidikan dengan outbound, dengan bentuk dongeng atau cerita, atau dengan memberikan pesan moral dan mengajak untuk berpikir rasional.

6.         EPISTEMOLOGI MATEMATIKA
Kajian epistemologi matematika adalah sekelompok pertanyaan mengenai apakah matematika itu (pertanyaan yang diperbincangkan oleh para ahli matematika selama lebih daripada 2000 tahun), termasuk jenis pengetahuan apa (pengetahuan empirik ataukah pengetahuan pra-pengalaman), bagaimana ciri-cirinya (deduktif, abstrak, hipotesis, eksak, simbolik, universal, rasional, dan kemungkinan ciri lainnya), serta lingkupan dan pembagian pengetahuan matematika (matematika murni dan matematik terapan serta berbagai cabang matematika yang lain). Demikian pula persoalan tentang kebenaran matematika seperti misalnya sifat alaminya dan macamnya. Jadi, matematika jika ditinjau dari aspek epistemologi, matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif.

Problem dasar pendidikan matematika kita di Indonesia adalah siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah persoalan. Padahal, matematika itu adalah interpretasi manusia terhadap fenomena alam. Dampaknya, siswa bahkan mahasiswa, pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu. Matematika hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau dicari jawabannya. Ini akibat tidak diajarkannya filsafat atau latar belakang ilmu matematika.


joko wahyono 
IAIN SURAKARTA
TAFSIR HADIST

filsafat kenegaraan al-farabi

FILSAFAT KENEGARAAN
AL - FARABI
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Islam


Dosen Pengampu
Raden Lukman Faurois,s.ag.m.ag



Disusun oleh  :



Joko Wahyono                      121111022




PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SURAKARTA
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Abu Nashr bin Audagh bin Thorhan al-Farabi (w. 339 H/950 M), biasa disebut al-Farabi, adalah salah satu cendekiawan muslim (filosof) yang memiliki konsep kenegaraan cukup baik. Konsep ini dikemas dengan bungkus al-madinah al-fadhilah, the best country atau juga negara ideal.Inti filsafat kenegaraan al-Farabi, seperti diuraikannya dalam karya Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, berupa autokrasi dengan seorang raja (kepala negara) berkuasa mutlak mengatur tatanan negara. Karenanya, sebagaimana Plato sang idolanya, al-Farabi mengecam negara yang dibangun di atas landasan demokrasi. Menurut al-Farabi, negara yang baik adalah negara yang rakyatnya tunduk patuh pada kepala negara. Ini seperti posisi para shahabat di depan Nabi Muhamamd SAW sebagai pemimpin mereka.
Dalam hal ini, al-Farabi membedakan negara menjadi lima kategori, negara utama (al-madinah al-fadhilah),negara sesat (al-madinah al-dhalalah)
negara jahil (al-madinah al-jahilah),Negara Fasik (al-madinah al-fasiqah)
negara massa (al-madinah al-mutabadilah).
Pada makalah yang saudara pegang ini akan membahas kelima kategori tersebut.
Dari pengertiannya sampai pada definisinya,dan latar belakang munculnya filsafat politik dan kenegaraan al farabi ini.semoga makalah ini  dapat memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih mudah dan mendetail.
Segala yang benar hanya milik Allah SWT sedangkan salah penulislah yang salah.
Saran dan kritik diharapkan untuk meminimalisir kekurangan yang ada pada makalah ini,sekian dan trima kasih.




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Biografi
Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh,lebih tepatnya Al-Faribi. Lahir di wasij, Distrik farab, Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia dan ibunya berkebangsaan turki. Al-Faribi dalam usia 40 tahun pergi ke baghdad,yang saat itu sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengatuhan. Pada tahun 330 H/945 M, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo[1]. Dari baghdad pergi ke damaskus beliau menetap selama 20 tahun,baliau meninggal pda tahun 339 H/950 M di usianya yang 80tahun.Ketika tinggal di damaskus Al-Farabi menjalani hidup menyendiri, ‘uzlah, dalam sebuah taman sejuk nan indah. Di situ dia menerima para tamu dan disitu pula dia mengajar para murid dan menulis karya-karyanya. Karyanya baru tersebar luas di dunia timur pada abad 4 dan 5 hijriyah. Baru setelah itu andalusia di dunia barat[2].
Pada masa Al-Farabi keadaan politik dan militer Daulah Abbasiah relatif tidak stabil. Di saat itu munculah karya Al-farabi yang tergolong monumental Ara’ ahl al-madinah al-fadhilah. Di dalam karya tersebut dia membahas hubungan antara teologi dan poltik yang pada saat itu jarang dibicarakan orang. Karya tersebut merupakan refleksi dari uraian plato tentang republic yang digambarkan dalam bentuk kota utama.[3]
Salain itu kekuatan politik Islam yang berkuasa bersifat heterogen.hal Itu dilihat dari kemerosotan kejayaan Dinasti Abassiyah di Bagdad secara politis,Kondisi politik seperti inilah yang agaknya menjadi faktor utama yang mempengaruhi pada pemikiran politik al-Farabi.






1.2 PEMIKIRAN TENTANG ASAL-USUL NEGARA DAN WARGA NEGARA
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, Negara merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan,papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama[4].
Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat,corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.[5]
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.


Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:
a)      Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah):
Pada lingkupnya yang lebih khusus tentang ini, al-Farabi sebenarnya memformulasikan gagasan kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan. Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam kitabnya As-Siyasah al-Madaniyah cukup memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim) untuk menemukan kebahagiaan mereka. Dengan begitu, kerangka dasar yang membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang pemimpin yang memiliki keutamaan penuh. Yamani menyebut pemimpin macam ini sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa kualifikasi[6]. Yang kemudian dari konsep ini (kepemimpinan) al-Farabi melilitkan konsep kebahagiaan padanya. Bahwa tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan.
Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini, al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya kecenderungan manusia. Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, seperti yang dikatakan Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politikon, secara alamiah mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan.
Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga[7], pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota utama dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi. Pemimpin macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan mentalnya[8]. Dalam konsep Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki oleh seseorang dengan tingkatan Nabi. Meski dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun pada umumnya mengalami sebuah kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan hampir semuanya tidak pernah berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal dan dengan kecenderungan memiliki umat yang durhaka. Sampai pada Nabi terakhir, Muhammad SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru menemukan bentuknya. Dengan keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat Arab, agaknya dapat disebut bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah kota utama di bawah kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi memiliki potensi yang sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas yang mereka miliki. Dan sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil mengaktualkan potensi itu adalah Muhammad SAW.
Sedang dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin yang dapat membentuk sebuah kota utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi juga Imam-imam, yang meski dalam sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam yang dapat membentuk sebuah kota utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama itu pada masanya nanti akan dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi al-Muntazar, Imam terakhir mereka).
Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik.
Tujuan kota utama adalah kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu
.
b)      Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahiliyah):
      negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.Negara jahiliyah yang merupakan lawan bagi Negara utama, yang dimaksud disini adalah Negara yang warganya tidak mengetahui kebahagiaan yang sebenarnya, karena mengartikan kebahagiaan dengan segala hal yang secara superficial dianggap baik dan merupakan tujuan dari pada hidup itu sendiri seperti kesenangan, kemakmuran, kesehatan tubuh, kebebasan memenuhi hasrat, dll.Al-Farabi membagi Negara jahiliyah menjadi enam bagian:
      pertama, Negara kebutuhan dasar, Negara yang menganggap kebutuhan dasar manusia adalah suatu kebahagian, bagi mereka orang yang mampu menguasai menejemen untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan adalah orang yang pantas dijadikan pemimpin. Singkatnya Negara ini mengartikan kebahagian dengan terpenuhinya segala kebutuhan yang cenderung material.
      Kedua, Negara jahat yaitu Negara kebutuhan dasar dalam tingkat ekstrim, bagi penduduknya kebahagiaan hanya merupakan hal-hal yang material.
      Ketiga, Negara rendah yaitu kata yang para penduduknya hanya menuntuk kesenangan-kesenangan belaka yang sekedar berguna bagi kebutuhan hidup.
      Keempat, Negara kehormatan yaitu Negara yang hanya memprioritaskan kehormatan dan pujian belaka dari bangsa-bangsa lain yang tujuannya tak lain hanya ingin mendapatkan sanjungan belaka.
      Kelima, Negara kekuasaan yaitu Negara yang haus akan kekuasaan yang mengartikan kebahagiaan dengan menguasai Negara-Negara selainnya.
      Yang Keenam adalah Negara demokratik, Negara yang tujuan hidupnya adalah kebebasan, yang penduduk boleh melakukan segala hal tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya.
c)      Negara Orang-orang Fasik (al-madinah al-fasiqah)
      negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
      Dalam kata lain Negara fasiq yaitu Negara yang pada dasarnya mengetahui pengetahuan, kebahagian sejati, terdidik dsb, akan tetapi mereka tidak berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya dan diyakininya sebaliknya mereka malah menghendaki kebahagiaan dengan meraih kebutuhan-kebutuhan seperti Negara jahiliyah.
d)      Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah):
      pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
e)      Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah):
      negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.        
BAB III
PENUTUP

Di zaman moderen sekarang para penguasa tidak ada yang mengklaim dirinya tuhan, tetapi tuntutan-tuntutan mereka tidak ubahnya dengan tuntutan-tuntutan Tuhan,yaitu kemutlakan kekuasaan atas rakyat yang diperintah.
Mungkin hal inilah yang patut untuk kita sebagai penerus bangsa sebagai calon-calon intelek untuk meresapi kemiskinan moral yang dihadapi bangsa ini.
Dari lima negara yang disimpulkan oleh Al Farabi di atas entah bangsa ini dapat no berapa,tentunya setiap orang mempunyai nilai sendiri-sendiri.
Umat islam ini jatuh di mulai sejak ditinggalkannya sistem khalifah dan dipakainya sistem mulk, atau juga demokrasi.
Al madudi berkata dalam konsep negaranya “kedaulatan (souverenitas) ada ditangan Tuhan ‘bukan’ ditangan manusia.seperti yang digadang-gadang dinegara demokrasi. Dan mungkin inilah yang disampaikan oleh Al Farabi sebagai filosof “ KEMBALI KEPADA HUKUM ALLAH”  
semoga dengan makalah ini kita dapatkan ibrah yang dapat merubah sudut pandang hidup yang lebih baik. Amiinn...

















DAFTAR PUSTAKA,

Drs. Imam Sukardi.2005.Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.
Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. 2007.Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Yamani,2002 Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan



[1]  Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.2007.hal 65-66
[2] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005 hal 7-8
[3]  Idem hal 17
[4] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005
[5] idem
[6] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
[7] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002 hal 61
[8] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002 hal 62

kupas kitab umdah Al-Qori

UMDAH AL-QORI KARYA BADRUDDIN AL-AINI Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Kajian Kitab Hadis D...