Pesta akhir tahun

METODE SYARAH HADITS




I.            PENDAHULUAN
Para ulama terdahulu telah banyak melakukan penafsiran terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab hadits, yakni dengan menulis kitab-kitab syarah. Meskipun kitab-kitab tersebut telah banyak disusun, tetapi upaya untuk melakukan metode yang digunakan oleh para ulama dalam penyusunan kitab-kitab syarah tersebut hampir tidak tersentuh.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, mengetahui cara atau metode pemahaman hadits-hadits yang digunakan oleh para ulama dalam menyusun kitab syarah menjadi sebuah keniscayaan, hal tersebut diperoleh untuk memperoleh kerangka umum bangunan metodologis dalam pemahaman hadits.
Para penulis telah mempersembahkan karya-karya mereka dibidang syarah hadits. Jika karya-karya tersebut dicermati, maka dapat diklasifikasikan beberapa metode yang dipergunakan oleh para pensyarah. Metode-metode syarah yang dimaksud adalah metode tahlili, ijmali, muqorin dan maudlu’i.
Metode-metode ini diadopsi dari metode penafsiran al-Qur’an dengan melihat karakter persamaan yang terdapat antara penafsiran al-Qur’an dan penafsiran atau syarah hadits. Artinya metode penafsiran al-Qur’an dapat diterapkan dalam syarah hadits dengan mengubah redaksi/kata al-Qur’an menjadi hadits; tafsir mejadi syarah[1]



II.            PEMBAHASAN
A.    METODE TAHLIL
1.      Pengertian
Metode syarah Tahlil adalah menjelaskan hadits-hadits Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dan menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.[2]
2.      Ciri-ciri Metode Tahlili
Pensyarahan yang mengikuti metode tahlili dapat berbentuk ma’tsur (riwayat)/ ra’y (pemikiran rasional). Jika dicermati maka pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola menjelaskan makna yang terkandung dalam hadits secar konprenhensif dan menyeluruh.
Dalam melakukan pensyarahan, hadits dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan, serta menerangkan asbab al-wurud. Jika hadits yang disyarah memiliki asbab al-wurud, dijelaskan juga munasabat (hubungan) antara satu hadits dengan hadits lain. Serta diwarnai pula oleh kecenderungan dan keberpihakan pensyarah kepada salah satu madzhab tertentu.[3]
3.      Kelebihan Metode Tahlili
a.       Obyek pembahasannya sangat luas
Metode ini biasa dikatakan seperti itu karena dapat mencakup berbagai aspek yang meliputi; kata, kalimat, asbab al-wurud, serta munasabah yang dapat digunakan dalam periwayatan.
b.      Mencakup ide dan gagasan
Kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode lain yaitu syarahnya yang menggunakan metode analisis guna meluangkan sebanyak mungkin ide dan gagasan-gagasan yang pernah ditemukan oleh para ulama.

4.      Kekurangan Metode Tahlili
a.       Menjadikan petunjuk hadits parsial (terpecah-pecah)
Metode tahlili memberikan seolah-olah memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten yang disebabkan oleh syarah yang diberikan pada sebuah hadits berbeda dengan syarah yang diberikan pada hadits lain yang sama karena kurang memperhatikan hadits lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
b.      Melahirkan syarah yang subjektif
Dalam mensyarah suatu hadits sesuai dengan kepribadiannya sendiri/keinginan dari pensyarah tersebut tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku. Didalam pensyarahan al-Askolani misalnya, dipengaruhi oleh sikap subjektifnya sebagai ulama hadits. Selain itu pensyarahan juga lebih menitik beratkan kepada Imam Syafi’i.

B.     METODE IJMALI (Global)
1.      Pengertian
Yang dimaksud dengan metode ijmali (Global) adalah menjelaskan hadits-hadits dengan urutan dalam kitab hadits (kutub as-sittah) secara ringkas, tapi tapi dapat merepresentasikan makna literal hadits, dengan bahasa yang mudah dipahami. Gaya bahasa yang digunakan juga tidak berbeda jauh dengan bahasa hadits, sehingga pembacanya kadang kala tidak dapat memilahkan mana yang hadits dan mana yang syarahnya.
2.      Ciri-ciri metode Ijmali (Global)
Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadits dari awal sampai akhir tanpa penetapan judul serta perbandingan yang jelas, dalam kitab syarah metode syarah ini tak memiliki ruang untuk menjelaskan sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, penjelasan umum dan sangat ringkas merupakan ciri yang dimiliki kitab syarah dengan metode ijmali.
3.      Kelebihan metode ijmali
a.       Ringkas dan padat
Syarah yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya.
b.      Bahasanya mudah
Pemahaman terhadap kosa kata yang terdapat dalam hadits ini lebih mudah didapatkan karena pensyarahan langsung menjelaskan maksud hadits yang tak memikirkan kepribadian dari pensyarah tersebut sehingga mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang singkat dan mudah.
4.      Kekurangan
a.       Menjadikan petunjuk hadits menjadi parsial
Terkadang hadits memiliki keterkaitan antara hadits satu dengan yang lain, oleh karena itu adasebuah hadits yang bersikap umum/global (samar) dapat diperjelas dengan hadits lain yang dapat melengkapi kekurangan hadits tersebut. Dengan menggabungkan kedua hadits tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh tanpa terpecah-pecah.
b.      Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai
Syarah yang mengguankan metode ini tidak dapat memberikan sarana yang memuaskan yang berkenaan dengan wacana pluralisme pemahaman suatu hadits. Disamping itu memeliki sisi positif yaitu bersifat instan seperti yang sudah disebutkan diatas.





C.     METODE MAUDU’I (TEMATIK)
1.      Pengertian
Metode maudu’i juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam suatu hadits.
Ada dua cara dalam tata kerja metode maudu’i; pertama, dengan cara menghimpun hadits yag berbicara tentang satu masalah (maudu’/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama. Kedua, pensyarahan yang dilakukan berdasarkan suatu hadits.[4]
Dalam mengemukakan metode maudu’i ada beberapa langkah, yaitu:
a.       Memilih atau menetapkan masalah yang ada dalam suatu hadits yang akan dikaji secara maudu’i.
b.      Menghimpun suatu hadits yang berkaitan dengan masalah hadits yang akan dibahas.
c.       Menyusun suatu hadits yang akan dibahas menurut kronologi dalam hadits tersebut, serta dicantumkan mengenai asbab al-wurudnya.
d.      Mengetahui munasabah hadits tersebut.
2.      Ciri-ciri metode maudu’i
a.       Kajian syarah ini mmerlukan kajian syarah analitis pengetahuan asbab al-wurud dan mengetahui tentang dalalah suatu lafal dan penggunaannya.
b.      Menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna dan utuh
c.       Melengkapi dengan uraian hadits yang berhubungan dengan pembahasan


3.      Kelebihan metode maudu’i
a.       Memunculkan sikap dinamis dalam mensyarah hadits karena menyajikan hadits-hadits yang berhubungan dengan pemasalahan maka dalam persyaratannya masih terdapat ruang untuk berijtihad lagi sesuai dengan kebutuhan zaman
b.      Menghasilkan pemahaman yang utuh, dalam metode ini seluruh hadits yang berhubungan dengan permasalahan disajikan sehingga dapat diperoleh pemahaman yang utuh tidak parsial sebagaimana metode tahlili.
4.      Kekurangan metode maudu’i
a.       Metode ini banyak melakukan pemenggalan hadits
b.      Membatasi pemahaman hadits, hal ini hanya mengambil bagian-bagian tertentu saja dari hadits-hadits yang berhubungan dengan pembahasan.

D.    METODE MUQORIN
1.      Pengertian
Yang dimaksud dengan metode muqarin adalah memahami hadits dengan cara;
a.       Membandingkan hadits yang memiliki redaksi yang sama dalam kasus yang sama dan memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.
b.      Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadits.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa memahami hadits dengan menggunakan metode muqarin ini mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya membandingkan hadits dengan hadits lain, melinkan juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah suatu hadits.[5]

2.      Ciri-ciri metode muqarin
Ciri utama dalam metode ini adalah perbandingan. Disinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode yang lain. Hal itu disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam membandingkan hadits dengan hadits adalah pendapat para pensyarah. Jika suatu syarah dilakukan tanpa membandingkan pendapat para pensyarah, maka pendapat seperti itu tidak dapat disebut metode komparatif.
3.      Kelebihan metode muqarin
a.       Memberikan wawasan pemahaman yang lebih luas
b.      Bersikap toleran terhadap pendapat orang lain
c.       Dengan metode ini sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu hadits
4.      Kekurangan metode muqarin
a.       Pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit bagi pembaca untuk menentukan pilihan
b.      Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang berkembang ditengah masyarakat, karena pensyarah lebih  mengedepankan perbandingan dari pada pemecahan masalah
c.       Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang diberikan oleh pensyarah dari pada mengemukakan pendapat baru.
5.      Kitab-kitab yang menggunakan metode muqarin
a.       Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi karya Imam Nawawi
b.      Umdah al-Qari’ Syarah al-Bukhari karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Ani.






REFERENSI

Ali, Nizar, Memahami Hadits Nabi, Cet ke-1, Yogyakarta: CESaD YPI Al-Rahman, 2001.
                                              
Mu’in Salim, Abd, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, Cet-I 2005.



[1] Nizar, Ali, Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: CESaD YPI Al-Rahman, Cet ke-1, 2001), h. 28.
[2] Ibid, h. 29.
[3] Ibid, h. 29-30.
[4] Prof. Dr. Abd. Mu’in Salim, MA, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, Cet-I 2005), h. 47.
[5] Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi, h. 46.

Hadis Tentang Ghibah Dan Bahayanya Terhadap Sosial Masyarakat




I.                   Pendahuluan
            Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad yang telah bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya anda diam dan tak menanggapi ghibah tersebut. Atau anda memilih hengkang dan ‘menyelamatkan diri’. Ghibah/ gosip adalah tindakan yang paling dibenci Allah. Tapi celakanya, kebiasaan ini justru disukai banyak orang, baik di kantor, ditempat kerja atau bahkan di rumah, terurama kalangan ibu-ibu. Banyak hal yang bergeser dan berubah dengan hadirnya pesawat televisi ke rumah kita, terutama yang berkaitan dengan budaya dan akhlak. Salah satu yang jelas terlihat yaitu pergeseran makna bergunjing atau menggosip dalam masyarakat.

                Ghibah/ menggosip adalah tindakan yang kurang terpuji yang celakanya, kebiasaan ini seringkali dilekatkan pada sifat kaum wanita. Dulu, orang akan tersinggung jika dikatakan tukang gosip. Seseorang yang ketahuan sedang menggosip biasanya merasa malu. Namun, sekarang kesan buruk tentang menggosip mungkin sudah mengalami pergeseran. Beberapa acara informasi kehidupan para artis atau selebritis yang dikemas dalam bentuk paket hiburan atau infotainment dengan jelas-jelas menyebut kata gosip sebagi bagian dari nama acaranya. Bahkan pada salah satu dari acara tersebut pembawa acaranya menyebut dirinya atau menyapa pemirsannya dengan istilah “biang gosip”. Mereka dengan bangganya mengaku sebagai tukang gosip.
Dalam Al Qur’an (QS 49:12), orang yang suka menggibah diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Jabir bin Abdullah ra. Meriwayatkan “ Ketika kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai maka Rasul pun bersabda, “Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang meng-ghibah orang lain”. (HR Ahmad). Saat ini hampir di setiap stasiun televisi memiliki paket acara seperti di atas. Bahkan satu stasiun ada yang memiliki lebih dari satu paket acara infotainment tersebut, dengan jadwal tayangan ada yang mendapat porsi tiga kali seminggu. Hampir semua isi acara sejenis itu, isinya adalah menyingkap kehidupan pribadi para selebritis. Walhasil, pemirsa akan mengenal betul seluk beluk kehidupan para artis, seolah diajak masuk ke dalam rumah bahkan kamar tidur para artis.


II.                Pembahasan
 Pengertian Ghibah
            Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)
Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana ghibah yang terlarang.

Keharaman Ghibah
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:
حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”
Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”
Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508)
Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih)[1]
Al Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah? Para shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ، إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan tadi benar-benar ada pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah, sedangkan jika itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Di dalam Al Qur’anul Karim Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka salah seorang diantara kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih.” (Al Hujurat: 12)
Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i berkata dalam tafsirnya: “Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa hadits) tentang ghibah dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang yang berbuat ghibah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala … (pada ayat di atas). Tentunya itu perkara yang kalian benci dalam tabi’at, demikian pula hal itu dibenci dalam syari’at. Sesungguhnya ancamannya lebih dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai peringatan agar menjauh/lari (dari perbuatan yang kotor ini -pent). ” (Lihat Mishbahul Munir)
Suatu hari Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَو مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air laut itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya)
Asy Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25)
Sekedar menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja sudah mendapat teguran keras dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu?
Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ يَاجِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya)
Yang dimaksud dengan ‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat ghibah (menggunjing), sebagaimana permisalan pada surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad 3/351)
Dari shahabat Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
?إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الإِسْتِطَالةَ فِي عِرْضِ المُسْلِمِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَفِي رِوَايَة : مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ
“Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar (dalam riwayat lain: termasuk dari sebesar besarnya dosa besar) adalah memperpanjang dalam membeberkan aib saudaranya muslim tanpa alasan yang benar.” (H.R. Abu Dawud no. 4866-4967)
Dari ancaman yang terkandung dalam ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan ghibah ini termasuk perbuatan dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk selalu berusaha menghindar dan menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
لاَتُشْغِلَنَّ بِعَيْبِ غَيْرِكَ غَافِلاً
عَنْ عَيْبِ نَفْسِكَ إِنَّهُ عَيْبَانِ
Janganlah kamu tersibukkan dengan aib orang lain, justru kamu lalai dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban(Nashihati linnisaa’ hal. 32)
Maksudnya, bila anda menyibukkan dengan aib orang lain maka hal itu merupakan aib bagimu karena kamu telah terjatuh dalam kemaksiatan. Sedangkan bila anda lalai dari mengoreksi aib pada dirimu sendiri itu juga merupakan aib bagimu. Karena secara tidak langsung kamu merasa sebagai orang yang sempurna. Padahal tidak ada manusia yang sempurna dan ma’shum kecuali para Nabi dan Rasul.
Konteks dalam hadits:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Engkau menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia membecinya.”
Hadits di atas secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup penyebutan aib dihadapan orang tersebut atau diluar sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib yang artinya tersembunyi-pent) yang ditegaskan oleh ahli bahasa. Kemudia Al Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan aib di dahapannya itu merupakan perbuatan yang haram, tapi hal itu termasuk perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan Subulus Salam hadits no. 1583, lihat Nashihati linnisaa’ hal. 29)
Demikian pula bagi siapa yang mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah maka hal tersebut juga dilarang. Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya dibeberkan aibnya.
Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya)
            Demikian juga semestinya ia tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan yaitu berbuat ghibah. Semestinya ia menasehatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut. Kalau sekiranya ia tidak mampu menasehati atau mencegahnya dengan cara yang baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang beriman itu bila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.”            (Al Qashash: 55)
Dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذالكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barang siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya dengan tangan. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan hatinya, yang demikian ini selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun bila ia ikut larut dalam perbuatan ghibah ini berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan, tentunya hal ini pun dilarang dalam agama.
Lalu bagaimana cara bertaubat dari perbuatan ghibah? Apakah wajib baginya untuk memberi tahu kepada yang dighibahi? Sebagian para ulama’ berpendapat wajib baginya untuk memberi tahu kepadanya dan meminta ma’af darinya. Pendapat ini ada sisi benarnya jika dikaitkan dengan hak seorang manusia. Misalnya mengambil harta orang lain tanpa alasan yang benar maka dia pun wajib mengembalikannya. Tetapi dari sisi lain, justru bila ia memberi tahu kepada yang dighibahi dikhawatirkan akan terjadi mudharat yang lebih besar. Bisa jadi orang yang dighibahi itu justru marah yang bisa meruncing pada percekcokan dan bahkan perkelahian. Oleh karena itu sebagian para ulama lainnya berpendapat tidak perlu ia memberi tahukan kepada yang dighibahi tapi wajib baginya beristighfar (memohan ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dighibahi itu di tempat-tempat yang pernah ia berbuat ghibah kepadanya. Insyaallah pendapat terakhir lebih mendekati kebenaran.    (Nashiihatii linnisaa’: 31) [2]
Ghibah yang Dibolehkan
            Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”
            Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:
  1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
  2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
  3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
  5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
  6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama. [3]
 Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.
2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين
“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”
3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:
إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِوهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.
4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi)[4]
Praktek Ulama Salaf
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)[5]
III.             Penutup
Islam merupakan agama sempurna yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Kesempurnaan Islam ini menunjukkan bahwa syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu adalah rahmatal lil’alamin. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhabarkan di dalam firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku mengutusmu melainkan sebagai rahmatal lil’alamin.” (Al Anbiya’: 107)
Diantara wujud kesempurnaan agama Islam sebagai rahmatal lil’alamin, adalah Islam benar-benar agama yang dapat menjaga, memelihara dan menjunjung tinggi kehormatan, harga diri, harkat dan martabat manusia secara adil dan sempurna. Kehormatan dan harga diri merupakan perkara yang prinsipil bagi setiap manusia.
Setiap orang pasti berusaha untuk menjaga dan mengangkat harkat dan martabatnya. Ia tidak rela untuk disingkap aib-aibnya atau pun dibeberkan kejelekannya. Karena hal ini dapat menjatuhkan dan merusak harkat dan martabatnya di hadapan orang lain.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِم حَرَامٌ دَمُهُ وَ عِرْضُهُ وَ مَالُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamakan darahnya, kehormatannya, dan juga hartanya.” (H.R Muslim no. 2564)
Hadits di atas menjelaskan tentang eratnya hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama muslim. Bahwa setiap muslim diharamkan menumpahkan darah (membunuh) dan merampas harta saudaranya seiman. Demikian pula setiap muslim diharamkan melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan, meremehkan, atau pun merusak kehormatan saudaranya seiman. Karena tidak ada seorang pun yang sempurna dan ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali para Nabi dan Rasul. Sebaliknya selain para Nabi dan Rasul termasuk kita tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan.
Suatu fenomena yang lumrah terjadi di masyarakat kita dan cenderung disepelekan, padahal akibatnya cukup besar dan membahayakan, yaitu ghibah (menggunjing). Karena dengan perbuatan ini akan tersingkap dan tersebar aib seseorang, yang akan menjatuhkan dan merusak harkat dan martabatnya.
            Ghibah adalah menyebutkan, membuka, dan membongkar aib saudaranya dengan maksud jelek.  Karena perbuatan ghibah ini berkaitan erat dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara, maka hendaknya kita selalu memperhatikan apa yang kita ucapkan. Karena ghibah  erat kaitannya dengan perbuatan lisan, sehingga sering terjadi dalam masyarakat dan terkadang di luar kesadaran. Apakah ini mengandung ghibah atau bukan, jangan sampai tak terasa telah terjatuh dalam perbuatan ghibah. Bila kita bisa menjaga tangan dan lisan dari mengganggu atau menyakiti orang lain, insyaallah kita akan menjadi muslim sejati dalam kehidupan bermasyarakt. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (H.R. Muslim)
Demikian pembahasan yang bisa kami tuliskan, semoga bermanfaat.
Wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aaliihi wa shahbihi ajma’iin.
IV.             Daftar Pustaka
-          www.muslim.or.id
-          Riyadhush Shalihin, penerbit Darul Bashirah
-          http://pangedulan.blogspot.com/2010/11/arti-ghibah-dalam-pandangan-islam.html





[1] http://hadis-islam.blogspot.com/2010/05/ghibah-atau-nasihat.html

[2]  http://www.assalafy.org/artikel.php?kategori=akhlaq=2
[3] Riyadhush Shalihin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah
[4] Riyadhush Shalihin, 4/100 dan 104
[5] http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/akhlak-adab/mewaspadai-bahaya-ghibah/

kupas kitab umdah Al-Qori

UMDAH AL-QORI KARYA BADRUDDIN AL-AINI Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Kajian Kitab Hadis D...