I.
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad yang telah bersabda:
من كان
يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang
baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika terjebak dalam situasi ghibah,
ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya anda diam dan
tak menanggapi ghibah tersebut. Atau anda memilih hengkang dan ‘menyelamatkan
diri’. Ghibah/ gosip adalah tindakan yang paling
dibenci Allah. Tapi celakanya, kebiasaan ini justru disukai banyak orang, baik
di kantor, ditempat kerja atau bahkan di rumah, terurama kalangan ibu-ibu.
Banyak hal yang bergeser dan berubah dengan hadirnya pesawat televisi ke rumah
kita, terutama yang berkaitan dengan budaya dan akhlak. Salah satu yang jelas
terlihat yaitu pergeseran makna bergunjing atau menggosip dalam masyarakat.
Ghibah/ menggosip
adalah tindakan yang kurang terpuji yang celakanya, kebiasaan ini seringkali
dilekatkan pada sifat kaum wanita. Dulu, orang akan tersinggung jika dikatakan
tukang gosip. Seseorang yang ketahuan sedang menggosip biasanya merasa malu.
Namun, sekarang kesan buruk tentang menggosip mungkin sudah mengalami
pergeseran. Beberapa acara informasi kehidupan para artis atau selebritis yang
dikemas dalam bentuk paket hiburan atau infotainment dengan jelas-jelas
menyebut kata gosip sebagi bagian dari nama acaranya. Bahkan pada salah satu
dari acara tersebut pembawa acaranya menyebut dirinya atau menyapa pemirsannya
dengan istilah “biang gosip”. Mereka dengan bangganya mengaku sebagai tukang
gosip.
Dalam
Al Qur’an (QS 49:12), orang yang suka menggibah diibaratkan seperti memakan
bangkai saudaranya sendiri. Jabir bin Abdullah ra. Meriwayatkan “ Ketika kami
bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat seperti bau
bangkai maka Rasul pun bersabda, “Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau
dari orang-orang yang meng-ghibah orang lain”. (HR Ahmad). Saat ini hampir di
setiap stasiun televisi memiliki paket acara seperti di atas. Bahkan satu
stasiun ada yang memiliki lebih dari satu paket acara infotainment tersebut,
dengan jadwal tayangan ada yang mendapat porsi tiga kali seminggu. Hampir semua
isi acara sejenis itu, isinya adalah menyingkap kehidupan pribadi para
selebritis. Walhasil, pemirsa akan mengenal betul seluk beluk kehidupan para
artis, seolah diajak masuk ke dalam rumah bahkan kamar tidur para artis.
II.
Pembahasan
Pengertian Ghibah
Pengertian ghibah dapat diketahui
dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan
kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il
bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala aalihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا
تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan
tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau,
“Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana
yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan
itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila
ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas
namanya (berbuat buhtan).” (HR.
Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)
Meskipun demikian ada sebagian
ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah
pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam
kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa
membedakan mana nasihat dan mana ghibah yang terlarang.
Keharaman Ghibah
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan,
sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang
diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:
حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا
وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً
لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau
ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang
periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya
pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah
mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka
niscaya akan merubahnya.”
Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat
riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ
حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي
بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan
juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian
hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang
suci ini.”
Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan
hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap
manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke
dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah
melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka.
Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya
sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan
barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan,
meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul
Musnad, 1/508)
Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari
Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki
kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan
dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’
Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan
daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.”
(Hadits ini Shahih)
Al Imam Muslim
meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah? Para
shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ، إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ
اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Engkau menyebutkan
sesuatu yang ada pada saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan
tadi benar-benar ada pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah,
sedangkan jika itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Di dalam Al Qur’anul
Karim Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat
mencela perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan janganlah
kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian
menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka salah
seorang diantara kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah
kalian membencinya. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih.” (Al Hujurat: 12)
Al Imam Ibnu Katsir
Asy Syafi’i berkata dalam tafsirnya: “Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa
hadits) tentang ghibah dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang yang berbuat
ghibah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala … (pada ayat di atas). Tentunya itu perkara yang kalian
benci dalam tabi’at, demikian pula hal itu dibenci dalam syari’at. Sesungguhnya
ancamannya lebih dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai
peringatan agar menjauh/lari (dari perbuatan yang kotor ini -pent). ” (Lihat
Mishbahul Munir)
Suatu hari Aisyah radhiyallahu’anha
pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang
Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَو مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau
telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air
laut niscaya akan merubah air laut itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya)
Asy Syaikh Salim bin
Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan
betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan
keras dari perbuatan tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush
Shalihin 3/25)
Sekedar
menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja sudah mendapat teguran keras dari
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,
lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu?
Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ
يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ
يَاجِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هؤُلاَءِ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku mi’raj
(naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam
keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah
mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.”
(H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya)
Yang dimaksud dengan
‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat ghibah
(menggunjing), sebagaimana permisalan pada surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu
Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى
قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا
عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ
اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ
رَحْلِهِ
“Wahai sekalian
orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya,
janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian
menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang
mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya.
Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun
di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Dari shahabat Jabir
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau
busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad 3/351)
Dari shahabat Sa’id
bin Zaid radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
?إِنَّ مِنْ
أَرْبَى الرِّبَا الإِسْتِطَالةَ فِي عِرْضِ المُسْلِمِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَفِي
رِوَايَة : مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ
“Sesungguhnya
termasuk riba yang paling besar (dalam riwayat lain: termasuk dari sebesar
besarnya dosa besar) adalah memperpanjang dalam membeberkan aib saudaranya
muslim tanpa alasan yang benar.” (H.R. Abu Dawud no. 4866-4967)
Dari ancaman yang
terkandung dalam ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan
ghibah ini termasuk perbuatan dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk
selalu berusaha menghindar dan menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al
Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
لاَتُشْغِلَنَّ
بِعَيْبِ غَيْرِكَ غَافِلاً
عَنْ عَيْبِ نَفْسِكَ إِنَّهُ عَيْبَانِ
Janganlah kamu
tersibukkan dengan aib orang lain, justru kamu lalai dengan aib yang ada pada
dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban(Nashihati linnisaa’ hal. 32)
Maksudnya, bila anda
menyibukkan dengan aib orang lain maka hal itu merupakan aib bagimu karena kamu
telah terjatuh dalam kemaksiatan. Sedangkan bila anda lalai dari mengoreksi aib
pada dirimu sendiri itu juga merupakan aib bagimu. Karena secara tidak langsung
kamu merasa sebagai orang yang sempurna. Padahal tidak ada manusia yang
sempurna dan ma’shum kecuali para Nabi dan Rasul.
Konteks dalam hadits:
ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Engkau menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia membecinya.”
Hadits di atas
secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup penyebutan aib
dihadapan orang tersebut atau diluar sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu
Hajar menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana
asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib yang artinya tersembunyi-pent) yang
ditegaskan oleh ahli bahasa. Kemudia Al Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan
aib di dahapannya itu merupakan perbuatan yang haram, tapi hal itu termasuk
perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan Subulus Salam hadits
no. 1583, lihat Nashihati linnisaa’ hal. 29)
Demikian pula bagi
siapa yang mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah maka hal tersebut juga
dilarang. Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya dibeberkan aibnya.
Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ رَدَّ
عِرْضَ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang
mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari
api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya)
Demikian
juga semestinya ia tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan
yaitu berbuat ghibah. Semestinya ia menasehatinya, bukan justru ikut larut
dalam perbuatan tersebut. Kalau sekiranya ia tidak mampu menasehati atau
mencegahnya dengan cara yang baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar
darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
(artinya):
“Dan orang-orang
yang beriman itu bila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil.” (Al
Qashash: 55)
Dari shahabat Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذالكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barang siapa yang
melihat kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya dengan tangan. Bila ia tidak
mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan
hatinya, yang demikian ini selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun bila ia ikut
larut dalam perbuatan ghibah ini berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan,
tentunya hal ini pun dilarang dalam agama.
Lalu bagaimana cara
bertaubat dari perbuatan ghibah? Apakah wajib baginya untuk memberi tahu kepada
yang dighibahi? Sebagian para ulama’ berpendapat wajib baginya untuk memberi
tahu kepadanya dan meminta ma’af darinya. Pendapat ini ada sisi benarnya jika
dikaitkan dengan hak seorang manusia. Misalnya mengambil harta orang lain tanpa
alasan yang benar maka dia pun wajib mengembalikannya. Tetapi dari sisi lain,
justru bila ia memberi tahu kepada yang dighibahi dikhawatirkan akan terjadi
mudharat yang lebih besar. Bisa jadi orang yang dighibahi itu justru marah yang
bisa meruncing pada percekcokan dan bahkan perkelahian. Oleh karena itu
sebagian para ulama lainnya berpendapat tidak perlu ia memberi tahukan kepada
yang dighibahi tapi wajib baginya beristighfar (memohan ampunan) kepada Allah
Subhanahu
wa Ta’ala dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dighibahi
itu di tempat-tempat yang pernah ia berbuat ghibah kepadanya. Insyaallah
pendapat terakhir lebih mendekati kebenaran.
(Nashiihatii linnisaa’: 31)
Ghibah yang Dibolehkan
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata:
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu
haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya
satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan
sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan
kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau
bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi
saudara-saudaranya.”
Dan juga sebagaimana perkataan beliau
kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu
Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang
yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah
meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah)
untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan
semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin
Nisaa’, hal. 27-28)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena
adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu
tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam
sebab:
- Mengadukan
kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang
dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan
menganiaya saya dengan cara demikian.”
- Meminta
bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat
agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan
telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau
ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi
menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka
hukumnya tetap haram.
- Meminta
fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku
menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku
telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati
ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang
melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
- Memperingatkan
kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati
mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini
diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib
karena kebutuhan umat terhadapnya.
- Menyebutkan
kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau
bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas
harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan
adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
- Untuk
memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang
lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang
tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini
diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya
ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah
yang lebih utama.
Imam Nawawi
menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau
menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو
الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini
untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan
aqidah.
2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا
يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ
الْمُنَافِقِين
“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama
kita barang sedikitpun.” (HR.
Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua
orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”
3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha,
beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian aku katakan:
إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ
خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا
وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ
عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم:
“وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ”
وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka
bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun
Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang
tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam
riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering
memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah
meletakkan tongkat dari pundaknya.”
Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang
banyak bepergian.
4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata:
خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من
عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى
المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا:
كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1
(ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ)
Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami
kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian
berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita
pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka
aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu
kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada
Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia
tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu
membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan
firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang
kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan
tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما
أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak
memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali
yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas
bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan
anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Praktek Ulama Salaf
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela
orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela
agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah
termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki
maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id
Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau
tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada
hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu
menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa
kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul
Hatsiits, hal. 228)
Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia
mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian
periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak
menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah
nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
III.
Penutup
Islam
merupakan agama sempurna yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wasallam. Kesempurnaan Islam ini menunjukkan bahwa syariat yang
dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
itu adalah rahmatal lil’alamin. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengkhabarkan di dalam firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku mengutusmu
melainkan sebagai rahmatal lil’alamin.” (Al Anbiya’: 107)
Diantara wujud
kesempurnaan agama Islam sebagai rahmatal lil’alamin, adalah Islam benar-benar
agama yang dapat menjaga, memelihara dan menjunjung tinggi kehormatan, harga
diri, harkat dan martabat manusia secara adil dan sempurna. Kehormatan dan
harga diri merupakan perkara yang prinsipil bagi setiap manusia.
Setiap orang pasti
berusaha untuk menjaga dan mengangkat harkat dan martabatnya. Ia tidak rela
untuk disingkap aib-aibnya atau pun dibeberkan kejelekannya. Karena hal ini
dapat menjatuhkan dan merusak harkat dan martabatnya di hadapan orang lain.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِم حَرَامٌ دَمُهُ وَ عِرْضُهُ وَ
مَالُهُ
“Setiap muslim
terhadap muslim lainnya diharamakan darahnya, kehormatannya, dan juga
hartanya.” (H.R Muslim no. 2564)
Hadits di atas
menjelaskan tentang eratnya hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama
muslim. Bahwa setiap muslim diharamkan menumpahkan darah (membunuh) dan
merampas harta saudaranya seiman. Demikian pula setiap muslim diharamkan
melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan, meremehkan, atau pun merusak
kehormatan saudaranya seiman. Karena tidak ada seorang pun yang sempurna dan
ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali para Nabi dan Rasul. Sebaliknya selain
para Nabi dan Rasul termasuk kita tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan.
Suatu fenomena yang
lumrah terjadi di masyarakat kita dan cenderung disepelekan, padahal akibatnya
cukup besar dan membahayakan, yaitu ghibah (menggunjing). Karena dengan
perbuatan ini akan tersingkap dan tersebar aib seseorang, yang akan menjatuhkan
dan merusak harkat dan martabatnya.
Ghibah adalah menyebutkan, membuka,
dan membongkar aib saudaranya dengan maksud jelek. Karena perbuatan ghibah ini berkaitan erat
dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara, maka hendaknya kita selalu
memperhatikan apa yang kita ucapkan. Karena ghibah erat kaitannya dengan perbuatan lisan,
sehingga sering terjadi dalam masyarakat dan terkadang di luar kesadaran. Apakah
ini mengandung ghibah atau bukan, jangan sampai tak terasa telah terjatuh dalam
perbuatan ghibah. Bila kita bisa menjaga tangan dan lisan dari mengganggu atau
menyakiti orang lain, insyaallah kita akan menjadi muslim sejati dalam
kehidupan bermasyarakt. Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
المُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim
sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan
tangannya.” (H.R. Muslim)
Demikian pembahasan yang bisa kami tuliskan, semoga
bermanfaat.
Wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aaliihi wa
shahbihi ajma’iin.
IV.
Daftar Pustaka
-
Riyadhush Shalihin, penerbit Darul
Bashirah
-
http://pangedulan.blogspot.com/2010/11/arti-ghibah-dalam-pandangan-islam.html
http://hadis-islam.blogspot.com/2010/05/ghibah-atau-nasihat.html
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/akhlak-adab/mewaspadai-bahaya-ghibah/