ISLAM DAN WACANA RADIKALISME AGAMA KONTEMPORER
Oleh: Syamsul Bakri
Stigma Radikalisme
Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam
merupakan fenomena yang menjadi tantangan bagi muslim untuk menjawabnya. Isu
ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional.
Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang
banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan
media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia.[1] Banyak
label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk
menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis,
militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.
Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideologi
komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari
peradaban yang menakutkan.[2] Tidak
ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang mereka memberinya label sebagai
radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda Barat atas Islam sebagai
agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.
Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang
Barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan
perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair,
perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Ayatullah Khomeini, Mu’ammar Ghadafi
ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, Sudan yang anti-AS,
merebaknya solidaritas muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas
dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkapanyekan
label radikalisme Islam.
Dalam perspektif Barat, gerakan Islam sudah menjdi
fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya gedung WTC New
York yang dituduhkan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-Qaeda dan
Taliban) semakin menjadikan term radikalisme Islam menjadi wacana yang lebih
menglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama
bangsa Barat dan Amerika Serikat terhadap gerakan Islam. Hal yang demikian
terjadi karena orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat berhasil dalam
melibatkan dan mewarnai media sehingga mampu membentuk opini publik.
Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok
Islam dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang
Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam memegang tampuk
wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh publik.
Barangkali masyarakat Barat telah tertipu oleh muslihat peradabannya sendiri
dalam mengeksploitasi media yang diciptakannya.
Ketergesa-gesaan dalam generalisasi menyebabkan mereka
tidak mampu memandang fenomena historis-historis umat Islam secara obyektif.
Tetapi hal ini tidak berarti pembenaran terhadap praktek radikalisme yang
dilakukan oleh agama dan moralitas manapun.
Akan tetapi apa yang perlu dilihat adalah bahwa Islam
sebagai agama damai sama sekali tidak pernah mengajarkan praktek radikalisme
sebagaimana terminologi di Barat. Islam tidak memiliki keterkaitan dengan
gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjuk kepada ajaran
radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis kenabian.
Walaupun demikian memang ada sekelompok dari Umat Islam
yang melakukan praktek radikalisme dan kekerasan dengan berbagai dalih seperti
jihad melawan kekufuran, perjuangan memberantas historis-sosiologis semacam ini
dapat terjadi disebabkan sentimen emosional keagamaan yang ada dalam perasaan sebagian
umat Islam dan sama sekali bukan dari ajaran dasar Islam.
Seputar Radikalisme Islam
Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan
sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[3]
Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan
mencari perdamaian.[4]
Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan
agama, faham keagamaan serta faham politik.
Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam fenomena
historis terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan
kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan faham keagamaannya
secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme
Islam.
Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras
dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme sendiri
memimiliki makna yang interpretable.[5] Dalam
tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk
mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadits.[6] Sebutan
fundamentalis memang terkadang bermaksud untuk menunjuk kelompok pengembali
(revivalis) Islam.[7]
Tetapi terkadang istilah fundamentalis juga ditujukan untuk menyebut gerakan
radikalisme Islam.[8]
Dengan demikian penulis lebih cenderung menggunakan istilah radikalisme dari
pada fundamentalisme karena pengertian fundamentalisme dapat memiliki arti-arti
lain yang terkadang mengkaburkan makna yang dimaksudkan sedang radikalisme
dipandang lebih jelas makna yang ditunjuknya yaitu gerakan yang menggunakan
kekerasan untuk mencapai target politik yang ditopang oleh sentimen atau emosi
keagamaan.
Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme
bagi kelompok Islam garis keras juga bermacam-macam seperti ekstrim kanan,
fundamentalis, militan dan sebagainya. M.A. Shaban menyebut aliran garis keras
(radikalisme) dengan sebutan neo khawarij.[9]
Sedangkan Harun Nasution[10]
menyebutnya dengan sebutan khawarij abad ke dua puluh (abad 21-pen) karena
memang jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah dengan menggunakan
kekerasan sebagaimana dilakukan khawarij pada masa pasca Tahkim.
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak
membenarkan adanya praktek kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan
politis atau mempertahankan apa yang dianggap sakral bukanlah cara-cara yang
Islami. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya
label radikalisme.
Istilah radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk
menunjuk gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis, militan).[11] Istilah
fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi,
konservatid, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik.
Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya
tidak tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri
muslim dan tidak dapat ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan
yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena
sosio-politik dan sosio-historis.
Gejala praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok
umat Islam itu, secara historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala
sosial-politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan
panji-panji keagamaan. Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian
kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana
internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh
dengan kekerasan. Akibatnyam tidak jarang image-image negatif banyak
dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat yang
perlu dicurigai.
Hal yang demikian terjadi karena masyarakat barat mampu
menguasai pers yang dijadikan instrumen yang kuat guna memproyeksikan kultur
dominan dari peradaban global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia adalah apa
yang didefinisikan dalam media-media Barat. Label Islam untuk menyebut gerakan
fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat ketimbang label Tamil di
Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara),
militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang ataupun bahkan musuh
lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai
solusi penyelesaian masalah.
Karena terlalu mengkaitkan kata-kata radikalisme,
fundamentalis atau gerakan militan
dengan Islam maka seringkali media Barat mengabaikan perkembangan praktek
kekerasan yang ditopang keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan
non-Islam ataupun yang ditopang oleh ideologi “kiri”. Contoh yang sangat jelas
adalah aksi tutup mulut para elit politik barat atau aksi bicara dalam
kepura-puraan ketika malihat praktek kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis
Yahudi ataupun sedadu Israel atas orang-orang Arab Palestina. Apa yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual sama
dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme Islam”.
Tetapi sebutan radikalisme lebih kental ditujukan kepada gerakan Islam. Hal
inilah yang ditolak oleh gerakan negara-negara OKI dalam pertemuannya di Kuala
Lumpur Malaysia tanggal 1 – 3 April 2002.
Realitas historis-sosiologis ini adalah bukti betapa
Barat menggunakan standar bganda dan bersikap tidak adil terhadap Islam. Ketika
masjid dan Mullah dilihat sebagai simbul radikalisme atau ketika gejala-gejala
kultural muslim diproyeksikan sebagai bentuk fanatisme dan ekstrimisme maka
terjadilah pengekangan dan pemenjaraan peradaban Islam karena Barat telah memberikan
klaim peradaban atas Islam sementara proses peradaban Islam sedang membentuk
jati dirinya. Hal yang demikian tidak berarti pembenaran perilaku radikalisme
yang dilakukan umat Islam karena apapun alasannya praktek kekerasan merupakan
penggaran norma keagamaan sekaligus pelecehan kemanusiaan.
Dengan demikian maka jelas bahwa label radikalisme yang
dialamatkan oleh Barat kepada Islam merupakan pelecahan agama karena di dalam
Islam tidak ada perintah menuju kekerasan. Istilah salah kaprah itu sesungguhnya
tidak perlu terjadi jika barat mau mengkaji Islam secara objektif bahwa Islam normatif terkadang tidak
diimplementasikan oleh sekelompok muslim dalam konteks historis-sosiologis.
Islam berbeda dengan perilaku muslim, artinya kebutralan (radikalisme) yang
dilakukan oleh sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan
Islam sebagai biang keladi radikalisme. Sebaliknya, kelompok-sekolompok kecil
umat Islam yang fanatik dan mengarah kepada benturan kekerasan juga menjadi
bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia. Gerakan radikalisme yang
dilakukan oleh sekelompok orang, termasuk muslim, merupakan kanker rohani yang
kronis yang mengancam manusia dan kemanusiaan.
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan
Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan
yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi
faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu
adalah :
Pertama,
faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat
sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara
salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat
dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka
historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi
Azra [12] bahwa
memburuknya posisi negara-negara muslim dalam konflik utara-selatan menjadi
penopong utama munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa
konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat
kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain
ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.
Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis
bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan
perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan simbol
serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan
mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja
hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena
sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena
historis. Karena dilihatnya terjadi banyak penyimpangan dan ketimpangan sosial
yang merugikan komunitas muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang
ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
Kedua, faktor
emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme
adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas
keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini
lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu
suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan
simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks
ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman
realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
Ketiga, faktor
kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi
munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana
diungkapkan Musa Asy’ari [13] bahwa
di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan
jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang
dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya
sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh
yang harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan
adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya
muslim. Peradaban barat sekarang in imerupakan ekspresi dominan dan universal
umat manusia.
Barat telah dengan sengaja melakukan proses
marjinalisasi selurh sendi-sendi kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi
terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai
bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap
bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.
Keempat,
faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang
membahayakan muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga
simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun
motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan
keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru
menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam
budaya dan peradaban.
Kelima,
faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam
untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan
sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari
negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri muslim
belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak
kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang
dihadapi umat.[14]
Disamping itu, faktor media massa (pers) Barat yang
selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan
kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers
memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga
sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang
ditimpakan kepada komunitas muslim.
Refleksi
Memberikan solusi bagi permasalahan historis-sosiologis
tidaklah mudah, terlebih-lebih jika permasalahan yang ada itu ditopang oleh
emosi keagamaan. Namun demikian, dalam melihat fenomena historis-sosiologis
mengenai muncul dan berkembangnya gerakan radiklaisme ini ada beberapa catatan
yang mungkin terjadi solusi alternatif. Gerakan-gerakan radikalisme yang
dilakukan oleh sebagian kelompok umat Islam sesungguhnya mencerminkan paduan
faktor internal dan eksternal. Oleh karenanya perlu dicari akar permasalahan
dari dua sisi ini.
Pertama,
faktor internal yaitu berupa emosi keagamaan yang berdasarkan interpretasi
ajaran agama. Dalam hal ini, jika gerakan radikalisme berbasis pada
interpretasi ajaran agama maka jalan yang perlu ditempuh untuk meminimalisir
gerakan radikalisme agama (khususnya Islam) harus mulai dengan rekontruksi
terhadap pemahaman agama, dari yang bersifar simbolik-normatif menuju pemahaman
yang etik, substansial dan universal. Namun hal ini bukan hal yang mudah untuk
dilakukan karena memerlukan upaya yang menyeluruh dan kompleks. Merubah pola
pikir dan sikap mental adalah perbuatan yang amat sulit dilakukan
terlebih-lebih jika pola pikir sebelumnya sudah ditopang dengan akidah
(keyakinan) keagamaan yang kuat dan mengakar.
Kedua, faktor
eksternal. Pengembalian hak-hak politik umat Islam yang selama ini di”penjara”
oleh Barat, seperti dihentikannya perang media atas Islam yang menjadikan umat
Islam terpojok oleh propaganda media Barat, pengembalian wilayah teritori milik
komunitas umat Islam yang “dijajah” Barat atau sekutu-sekutunya, dihentikannya
penjajahan dan dominasi ekonomi, kultur maupun militer yang dilakukan oleh
barat atas negeri-negeri muslim yang dianggap militan. Pengembalian hak-hak
muslim merupakan syarat utama dalam meminimalisisr gerakan radikalisme.
Disamping itu, faktor kebijakan pemerintah
negara-negara muslim juga memiliki peran yang cukup penting dalam memperkecil
gerakan radikalisme. Bahwa gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok
muslim merupakan simbol dari ketidakpercayaan terhadap kekuatan dan kemauan
para pemegang pemerintahan negeri-negeri muslim, serta sebagai simbol
ketidakberdayaan mereka dalam diplomasi internasional (karena sudah
terpinggirkan, termajinalkan, terjajah).
Penanganan yang kaku oleh pemerintah terhadap gerakan
radikalisme bukan saja tidak menyelesaikan masalah tetapi juga menyebabkan
gerakan radikalisme akan terus berlangsung disamping tentunya menimbulkan
permasalahan yang dapat memicu radikalisme baru. Ketika penguasa tidak memahami
fenomena masyarakatnya, ketika kecurigaan dan kekerasan dijadikan alat untuk
memberantas radikalisme maka radiklaisme tidak akan hilang dari fenomena
historis. Radikalisme tidak dapat dilawan dengan kekerasan. Radikalisme yang
dilakukan oleh sekelompok muslim memiliki ide (ideologi politik dan ideologi
keagamaan), disamping ditopang oleh emosi dan solidaritas keagamaan yang sangat
kuat. Karenany maka diperlukan upaya persuasif, kedemawaan dan rasa
persaudaraan dari para penguasa negeri-negeri muslim agar gerakan yang lebih
radikal lagi bisa dicegah.
Praktek
kekerasan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam tidak dapat
dialamatkan kepada Islam sehingga propaganda media Barat yang memojokkan Islam
dan umat Islam secara umum tidak dapat diterima. Islam tidak mengajarkan
radikalisme, tetapi perilaku kekerasan sekelompok umat Islam atas simbol-simbol
Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis yang dimanfaatkan media
pers Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis yang dimanfaatkan
media pers Barat untuk memberi label dan mengkampanyekan anti-radikalisme
Islam.
Identitas keislaman (kesadaran umum sebagai muslim)
memang menjadi identitas yang tepat dan referensi yang efektif bagi gerakan
radikalisme. Tetapi faktor eksternal yaitu dominasi dan kesewenang-wenangan
barat atas negeri-negeri muslim merupakan faktor yang lebih dominan yang
memunculkan radikalisme muslim sebagai reaksi. Jadi jelas, bahwa radikalisme
muncul dari kebanggan (identitas ke-Islaman) yanga terluka (oleh Barat),
keluhan (kaum muslim tertindas yang tidak diperhatikan) dan keputusasaan karena
ketidakberdayaan.
Solusi-solusi yang muncul harus dapat mencakup kompleksitas
permasalahan yang kesemuanya harus berangkat dari kearifan para pemimpin Barat
dan juga negeri-negeri muslim untuk mampu membaca fenomena perkembangan zaman
yang mencerminkan aspirasi dari kalangan muslim. Kondisi buruk sosial-politik
dan ekonomi telah menjadikan umat Islam semakin termajinalkan sudah seharusnya
dijadikan landasan awal dalam pemecahan masalah radikalisme. Jika tidak maka
“Islam” yang damai akan termanifestasi dalam bentuk radikalisme yang penuh kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S., Posmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Terjemahan M. Sirozi,
Mizan, Bandung, 1993.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta, 1996.
Asy’arie, Musa, Manusia
Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur’an, LESFI, Yogyakarta, 1992.
Abdullah, Amin, Studi
Agama, Normatifitas Atau Historisitas?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran
Moderen Dalam Islam, Terjemahan Machnun Husein, Rajawali Pers, Jakarta,
1990.
Imarah, Muhammad, Fundamentalisme Dalam Perspektif Pemikiran Barat Dan Islam,
Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997.
Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, jakarta, 1995.
----------------------, Islam Agama Peradaban, Mencari Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam
Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995.
Nasution, harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995.
Rahman, Fazlur, “Pendekatan Terhadap Islam Dalam
Studi Agama” dalam Richard C. Martin, Pendekatan
Kajian Islam Dalam Studi Agama, Terjemahan Zakiyuddin baidlawi,
Muhammadiyah University Press, Surakarta. 2001.
---------------------, Islam And Modernity, The University of Chicago Press, Chicago,
1982.
Shaban, M.A., Islamic
History, Cambridge University Press, Cambridge, 1994.
Watt, William Montgomery, Islamic Fundamentalism And Modernity, T.J. Press (Padstow) Ltd,
London, 1988.
[1] Media
massa merupakan dinamika sentral dan elemen utama dalam definisi kultural yang
mampu menciptakan opini publik. Komunitas (kelompok) yang menguasahi media
merupakan komunitas yang mampu menyebar luaskan keinginannya karena sifat dan
pengaruh media yang cukup kuat dalam menopang kekuasaan dan hemegomi. Lihat
Akbar S.Ahmed, Posmodernisme dan Harapan
Bagi Islam, Terjemahan M. Sirozi, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 27.
[2]
Nurcholish Madjid, Pintu-PintuMenuju
Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 270
[3] Lihat harun
Nasution, Islam Rasional, Mizan,
Bandung, 1995, hlm.124.
[4]
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban,
Mencari Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina,
Jakarta, 1995, hlm.260.
[5] Dalam
perspektif Barat Fundamentalisme berarti faham orang-orang kaku ekstrim serta
tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan
ideologinya. Sementara dalam perspektif Islam, fundamentalisme berarti tadjid
berdasarkan pesan moral Al-Qur’an dan as-Sunnah. Lihat Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan
Islam, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani Press, Jakarta,
1999, hlm.22.
[6] William
Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism
And Nodernity, T.J. Press (Padstow) Ltd, London, 1998, hlm.2.
Fundamentalisme juga berarti anti-pembaratan (westernisme). Lihat Fazlur
rahman, Islam And Modernity, The
University of Chicago Press, Chicago, 1982, hlm.136. Terkadang fundamentalisme
diartikan sebagai radikalisme dan terrorisme disebabkan gerakan fundamentalisme
memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri di Barat.
Lihat Kuntowijoyo, Identitas politik Umat
Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm.49.
[7] H.A.R.
Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan
Machnun Husein, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm.52.
[8] Di media
barat, fundamentalisme berarti intoleran dan kekerasan yang ditopang fanatisme
keagamaan. Lihat Akbar S. Ahmed, Op.Cit.,
hlm.30.
[9] Lihat
M.A. Shaban, Islamic History,
Cambridge University Press, Cambridge, 1994, hlm.56.
[10] Harun
Nasution, Op.Cit., hlm.125.
[11] Istilah
radikalisme merupakan kode yang terkadang tidak disadari dan terkadang ekplisit
bagi Islam. Lihat Akbar S. Ahmed, Op.Cit.,
hlm.30. Yang menjadi masalah di Barat dan Amerika sebenarnya bukan Islam itu
sendiri tetapi praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok
komunitas Muslim dalam proses pembentukan jati diri (identitas) kelompoknya.
Lihat Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu
Menuju Tuhan, Op.Cit., hlm.270.
[12]
Azyumardi Azra, Pergolakan politik Islam,
Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta,
1996,hlm.18.
[13] Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
Dalam Al-qur’an, LESFI, Yogyakarta, 1992, hlm.95.
[14] Hal
yang demikian diungkapkan oleh Mahathir Muhammad dalam sambutannya pada acara
pertemuan negara-negara OKI di Kuala Lumpuir Malaysia tanggal 1 – 3 April 2002.
Lihat, SOLOPOS, Edisi Selasa 2 April 2002 hlm.4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar