SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN KAEDAH AKSARA
JAWA
Oleh :
Syamsul Bakri M.Ag
A. Sejarah
Dan Perkembangan Aksara Jawa.
Salah satu dari berbagai
cara manusia membudayakan dirinya ialah dengan bahasa, yang merupakan alat
komunikasi antar sesama. Bahasa itu kemudian diungkapkan juga dengan simbol
atau lambang sebagai bahasa tulis disamping bahasa lisan.
Komunikasi adalah poros dari
perkembangan kebudayaan manusia di dunia dan komunikasi yang efisien adalah
gambar. Manusia mengalami sesuatu dengan melihat, kemudian mendengar. Melalui
daya ingat dan penglihatan, maka timbulah bahasa gambar. Bahasa gambar pun
berkembang tatkala manusia berbahasa lisan, dari bahasa lisan manusia
mengungkapkan gambar-gambar tadi menjadi simbol atau gambar abstrak yang
menjadi huruf-huruf sebagai alat penyampaian pesan kepada manusia lain secara
tidak langsung. Perkembangan itu pun tak lepas dari saling menyempurnakan dan
memberi karakter dan daya dari typografi yang berkembang pada masa itu. Sampai
sekarang mungkin sudah beribu-ribu karakter yang sudah terciptakan untuk
typografi ini.
Keanekaragaman aksara-aksara
Indonesia tidak terlepas dari akulturasi budaya asli Indonesia dengan budaya
luar baik itu Arab, India, Persia, Cina dan Eropa. Menurut (J.G. de Casparis,
2002:20) selain memakai huruf Arab untuk teks keagamaan setelah abad ke-11 dan
huruf Latin untuk periode yang lebih muda, semua aksara di Indonesia dapat
dirunut asal usulnya pada aksara purwarupa India. Purwarupa hampir semua aksara
Indonesia adalah aksara yang dipakai khusus oleh raja-raja Pallawa di India
Selatan abad ke-14 sampai abad ke-9 M. Pengetahuan kita tentang perkembangan
sebelumnya didasarkan pada tulisan-tulisan di atas batu atau logam dari bagian
barat Indonesia dan Malaysia.
Aksara jawa yang kita kenal
dan digunakan kebanyakan suku jawa terutama daerah Yogyakarta. Pada awalnya
aksara jawa merupakan aksara sejenis abuginda keturunan aksara brahmi yang dulu
kala digunakan dalam penulisan naskah bahasa jawa, bahasa makasar, bahasa
sasak, serta bahasa sunda. Aksara jawa sekarang adalah aksara jawa modern sejak
kesultanan mataram abad 17 tetapi bentuk cetak baru muncul pada abad 19. Aksara
modern ini merupakan modifikasi antara aksara jawa kawi (abuginda) yang
digunakan abad sebelumnya sekitar abad 8 sampai ke 16. ada dua macam aksara
jawa kawi (kuno) dengan aksara jawa modern. awalnya aksara kawi digunakan abad
pra-islam (sebelum datangnya agama islam di jawa) yang disebut aksara jawa
hindu, periode ini aksara jawa mengikuti sistem sanskerta panini, dengan urutan
ka-ga-nga seperti yang digunakan unicode aksara jawa sekarang. namun pada
periode ini belum mengenal pemisahan aksara murda seperti sekarang.Selanjutnya
periode aksara jawa islam. dalam periode ini merupakan perkembangan aksara jawa
atau modern, dengan wujud adanya teks serta suluk wijil dan serat ajisaka,
dengan kreatif menyusun karakter jawa sehingga mudah dihafalkan dan menarik
selain itu juga mengandung mitos tentang Ajisaka, yang konon dulunya terjadi
pertengkaran antara kedua abdinya ajisaka bernama Dora dan Sembada. keduanya
saling bertengkar memperebutkan kebenaran berawal dari sebuah utusan Ajisaka.
sedangkan Ajisaka meninggalkan pulau Majethi pergi ke Medhangkamulan.
diceritakan Sembada menjaga amanat ajisaka berupa perhiasan serta pusaka yang
ada di Majethi, Ajisaka dan Dora pergi ke Medhangkamulan. Dora diutus mengambil
pusaka serta perhiasandi Majethi, namun oleh Sembada tidak boleh kalau bukan
Ajisaka sendiri yang mengambil. Akhirnya terjadi pertengkaran keduanya hingga
meninggal bersama karena sama kuatnya. berikut cuplikannya:
Ha Na Ca Ra Ka: ada utusan
Da Ta Sa Wa La : adanya
pertikaian atau pertengkaran.
Pa Dha Ja Ya Nya : sama
kuatnya
Ma Ga Ba Tha Nga : jadi
bangkai atau sama-sama mati.
Sekarang aksara jawa yang
ada adalah aksara jawa modern seperti yang digambarkan diatas. namun perlu
diketahui bahwa penulisan aksara jawa mengandung filosofi serta aturan. menulis
aksara jawa dianjurkan diawali dari bawah kemudian keatas sesuai karakter huruf
jawa tersebut, sedangkan filosofinya adalah melambangkan penghormatan anak
terhadap orang tua sesuai dengan perkembangan umur.
Aksara Jawa adalah sistem
tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap huruf pada aksara Jawa
melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan
dari posisi huruf. Aksara ditulis tanpa spasi (scriptio continua), dan
karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap
kata.
Huruf dibagi menjadi
beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Huruf dasar terdiri dari 20 konsonan yang
digunakan untuk menulis bahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi huruf
kapital, huruf arkaik, dan huruf yang dimodifikasi. Semua jenis huruf ini
memiliki bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis tumpukan konsonan.
Kebanyakan huruf selain
huruf dasar merupakan konsonan teraspirasi atau retroflex yang digunakan dalam
bahasa Jawa Kuno karena pengaruh bahasa Sansekerta. Selama perkembangan bahasa
dan aksara Jawa, huruf-huruf ini kehilangan representasi suara aslinya dan
berubah fungsi.
Sejumlah tanda baca mengubah
vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan
menandakan ejaan asing. Beberapa tanda baca dapat digunakan bersama-sama, namun
tidak semua kombinasi diperbolehkan. Terdapat tanda-tanda yang setara dengan
koma, titik, titik dua, serta kutip, dan terdapat pula tanda membuka
puisi/tembang, mengawali surat, dll
Aksara Jawa memiliki
digitnya senditi yang terdiri dari angka 0-9. Tujuh diantaranya memiliki bentuk
yang mirip dengan aksara. Sejumlah tanda baca dapat digunakan untuk membedakan
angka yang muncul dalam teks.
Tulisan Jawa dan Bali adalah
perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang
berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama
digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sansekerta yang biasa
ditulis dalam naskah daun lontar. Selama periode Hindu-Buddha, bentuk aksara
Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, namun dengan ortografi yang tetap.
Pada abad 17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan
dikenal sebagai Carakan atau hanacaraka berdasarkan lima huruf pertamanya.
Carakan terutama digunakan
oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan-kerajaan seperti Surakarta dan
Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, diantaranya cerita-cerita
(serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan
(primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang. Naskah umum
dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca
yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit
dan kaya warna.
Pada tahun 1926, sebuah
lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan
Sriwedari), yang merupakan landasan awal standarisasi ortografi aksara Jawa.
Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi
baku aksara Jawa yang dipublikasikan, diantaranya Patokan Panoelise Temboeng
Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946, dan sejumlah panduan
yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006. KBJ juga
berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.
Namun dari itu, penggunaan
aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan
pada 1926, dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa
Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa,
seperti Jaka Lodhang. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada
sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.
B. Kaedah
Penulisan Aksara Jawa.
Sebuah huruf dasar tanpa tanda baca disebut sebagai sebuah
aksara, yang merepresentasikan suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/ tergantung
dari posisinya. Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dimana
dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih
cenderung menggunakan /ɔ/. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan
dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:
1)
Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara
sebelumnya mengandung sandhangan swara.
2)
Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara
setelahnya mengandung sandhangan swara.
3)
Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal
/ɔ/, kecuali dua huruf setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara
tersebut dibaca dengan vokal /a/.
1.
Huruf Nglegéna
Terdapat 20 huruf dasar bernama aksara nglegéna
untuk menulis bahasa Jawa modern, yaitu:
Aksara Nglegéna
|
|||||||||
ha
|
na
|
ca
|
ra
|
ka
|
da
|
ta
|
sa
|
wa
|
la
|
hɔ/ɔ
|
nɔ
|
tʃɔ
|
ɽɔ
|
kɔ
|
dɔ
|
tɔ
|
sɔ
|
wɔ
|
ɭɔ
|
pa
|
dha
|
ja
|
ya
|
nya
|
ma
|
ga
|
ba
|
tha
|
nga
|
pɔ
|
ɖɔ
|
dʒɔ
|
jɔ
|
ɲɔ
|
mɔ
|
ɡɔ
|
bɔ
|
ʈɔ
|
ŋɔ
|
·
Huruf 'ha' juga dapat dibaca
sebagai 'a'.
2.
Huruf
Murda
Aksara
murda atau aksara gedé digunakan seperti halnya huruf kapital dalam tulisan
latin, kecuali untuk menandakan awal suatu kalimat. Murda digunakan pada huruf
pertama suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Tidak semua
aksara mempunyai bentuk murda, dan apabila huruf pertama suatu nama tidak
memiliki bentuk murda, huruf kedua yang menggunakan murda. Apabila huruf kedua
juga tidak memiliki bentuk murda, maka huruf ketiga yang menggunakan murda,
begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan
murda apabila memungkinkan. Perlu diperhatikan bahwa huruf ca murda tidak lazim
digunakan. Bentuk pastinya tidak diketahui karena umumnya hanya bentuk
pasangannya yang dipakai.
Aksara Murda
|
||||||||
Na
|
ca
|
ka
|
ta
|
sa
|
pa
|
nya
|
ga
|
ba
|
3.
Huruf Swara.
Vokal
murni umumnya ditulis dengan huruf ha (yang dapat merepresentasikan konsonan
kosong) dengan tanda baca yang sesuai. Selain cara tersebut, terdapat juga
huruf yang merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara yang digunakan untuk menandakan sebuah nama,
seperti halnya huruf murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" ditulis
dengan huruf ha. Namun untuk menulis seseorang yang bernama Ayu, aksara swara
digunakan. Swara juga digunakan untuk mengeja kata bahasa asing. Unsur Argon
semisal, ditulis dengan swara.
Aksara swara
|
||||
a
|
i
|
u
|
é/è
|
o
|
a/ɔ
|
i
|
u
|
e/ɛ
|
o
|
Aksara swara tambahan
|
||||
aa
|
ii
|
uu
|
ai
|
au
|
aː
|
iː
|
uː
|
ai
|
au
|
4.
Huruf
Mahaprana
Mahaprana, secara harfiah berarti "dibaca
dengan nafas berat", adalah huruf yang awalnya merepresentasikan bunyi
teraspirasi yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno dan terjemahan Sansekerta,
namun sekarang tidak lagi dipakai. Mahaprana jarang muncul dan karenanya
seringkali tidak dibahas dengan baikatau sepenuhnya dilewatkan dalam buku
aksara Jawa.
Aksara Mahaprana
|
|||
dha
|
sa
|
ja
|
tha
|
Pa cerek dan nga lelet awalnya adalah
konsonan-vokalik /r̥/ dan /l̥/ yang muncul pada perkembangan awal aksara Jawa
karena pengaruh bahasa Sansekerta. Ortografi kontemporer menggunakan keduanya
sebagai huruf konsonanyang bernama aksara ganten atau "aksara
pengganti", yaitu huruf dengan vokal /ə/ yang menggantikan setiap
kombinasi ra+pepet dan la+pepet. Karena sudah memiliki vokal tetap, kedua huruf
tersebut tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal. Keduanya juga
memiliki bentuk pasangan. Secara historis, ra agung digunakan oleh sejumlah
penulis untuk nama orang yang dihormati, terutama anggota kerajaan. Ka sasak
merupakan transliterasi tradisional bunyi /qa/ yang digunakan dalam bahasa
Sasak.
Aksara lain-lain
|
|||
pa cerek
|
nga lelet
|
ra agung
|
ka sasak
|
rə
|
lə
|
ra
|
qa
|
5.
Pasangan
Untuk menulis suatu konsonan murni, tanda baca
pangkon digunakan untuk menekan vokal huruf dasar. Namun pangkon hanya boleh
dipakai di akhir kalimat, dan apabila konsonan terjadi di tengah kalimat, huruf
pasangan digunakan. Pasangan adalah
huruf subskrip yang menghilangkan vokal inheren aksara tempat ia terpasang.
Misal, apabila huruf na dipasangkan dengan pasangan da, maka akan dibaca nda.
Pasangan dapat diberi tanda baca, seperti
halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Tanda baca
yang berada di atas dipasang pada aksara, sementara tanda baca yang berada di
bawah dipasang pada pasangan. Tanda baca yang berada sebelum dan sesudah huruf
dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh dipasang dengan satu
pasangan, dan pasangan dapat dipasang dengan sejumlah tanda baca. Dalam teks
lama, pasangan wa dapat ditempelkan dengan pasangan lain sebagai pengecualian
karena dianggap sebagai tanda baca.
Pasangan Nglegéna
|
|||||||||
ha
|
na
|
ca
|
ra
|
ka
|
da
|
ta
|
sa
|
wa
|
la
|
pa
|
dha
|
ja
|
ya
|
nya
|
ma
|
ga
|
ba
|
tha
|
nga
|
Pasangan Murda
|
||||||||
na
|
ca
|
ka
|
ta
|
sa
|
pa
|
nya
|
ga
|
ba
|
Pasangan Mahaprana
|
|||
dha
|
sa
|
ja
|
tha
|
Pasangan lain-lain
|
|||
pa cerek
|
nga lelet
|
ra agung
|
ka sasak
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar