DERADIKALISASI MELALUI
REINTERPRETASI PEMAHAMAN AGAMA[1]
Oleh: Dr. Mudhofir Abdullah[2]
Dalam banyak kasus kekerasan atas nama agama, teks-teks al-Qur’an
sering dipakai untuk melegitimasi. Ayat-ayat al-Qur’an menjadi penyokong nilai
tertinggi perbuatan terorisme sekelompok orang yang tidak secara benar
memahaminya. Fakta ini sangat memperihatinkan karena telah keluar jauh dari
tujuan diturunkannya al-Qur’an yakni untuk menciptakan tata sosial yang adil
dan damai di muka bumi.
Cara
memahami teks-teks Kitab Suci seringkali dikerangkeng ke dalam teori konspirasi
dan hitam-putih. Ayat-ayat tertentu dikumpulkan, ditafsirkan, dan digiring ke
pemahaman eksklusif sehingga menghasilkan ayat-ayat kekerasan. Konteks turunnya
ayat (asbāb al-nuzūl) sering diabaikan demi memperoleh
kesimpulan-kesimpulan yang sudah dipatok. Maka pesan perdamaian dan
pilihan-pilihan moral universal dikalahkan oleh tafsir-tafsir ayat yang sudah
dikerangkeng itu. Model tafsir semacam ini menghasilkan apa yang saya sebut
sebagai teologi kekerasan. Model semacam ini terdapat pada semua agama,
kebudayaan, dan aliran-aliran kepercayaan. Namun, bagian ini akan lebih
menonjolkan kekerasan dari sisi Islam, bukan dalam artinya yang intrinsik tapi
dalam artinya yang instrumental (karena secara intrinsik Islam adalah agama
damai dan menjadi rahmat bagi seluruh alam).
A. Varian dan
Bentuk Kekerasan
Kekerasan atas nama agama
memiliki varian (macam). Varian-varian itu mengambil bentuk ekstremisme,
radikalisme, dan fundamentalisme. Namun varian ini masih dalam bentuk pikiran,
teologi, atau konsep-konsep pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Ketika
konsep-konsep pemahaman itu diaplikasikasn dalam wujud nyata maka menjadi
tindakan kekerasan yang tidak toleran.
Terorisme, penyerangan, pengusiran,
dan pembakaran tempat ibadah atas pihak-pihak yang dianggap musuh (baik musuh
Allah, musuh Nabi Muhammad, dan umumnya musuh Islam) adalah bentuk nyata
kekerasan dalam Islam. Dalam bentuknya yang relatif sederhana adalah
penghujatan terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh itu. Termasuk ancaman pada
orang-orang Islam sendiri yang dianggap menodai ajaran Islam melalui
karya-karyanya. Almarhum Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Dawam Rahardjo, dan
baru-baru ini kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal), untuk menyebut beberapa di
antaranya, adalah pihak-pihak yang pernah menjadi korban hujatan dan bahkan
nyaris pembunuhan.
Di Timur Tengah penghujatan,
pengucilan, atau ancaman pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Islam yang dianggap
menodai Islam lazim terjadi. Taha Husein, Muhammad Abduh, Hassan Hanafi, Abid
Jabiri, Abdul Karim Soroush, dan lain sebagainya adalah tokoh-tokoh Islam
terkemuka yang pernah diperlakukan sebagai musuh Islam karena karya-karya dan
pendapat-pendapatnya. Fazlur Rahman dari Pakistan juga terusir dari negerinya
dan hijrah ke Amerika karena pendapat-pendapatnya yang dianggap menodai Islam.
Di level politik, Mesir mencatat
sejarahnya. Pembunuhan Anwar Sadat oleh kelompok Islam garis keras adalah
contohnya. Sadat dianggap membela kepentingan Israel dan merugikan Islam
sehingga darahnya dianggap halal. Fenomena pembunuhan tokoh-tokoh politik
sering terjadi di sana baik tingkat lokal maupun tingkat nasional. Itulah
sebabnya Yusuf Qardhawi menulis buku berjudul “Extremism” (dalam Charles
Kurzman). Buku lainnya adalah “Fatwa-Fatwa Kontemporer” Yusuf Qaradhawi.
Buku-buku itu merespon atas maraknya kekerasan atas nama Islam, yang
sesungguhnya, merupakan agama damai, rahmatan lil-‘ālamin, dan agama
etika. Istilah tatharruf fi al-dîn (berlebihan dalam beragama) dan ghuluww
(berlebihan) dikemukakan untuk menolak paham Islam ekstrem itu.
Jadi, level kekerasan atas nama
Islam telah merasuk ke ranah politik, dunia pendidikan, dan sosial-masyarakat.
Ide-ide kekerasan atas nama Islam ini, sesungguhnya, berasal dari Timur Tengah
yang memiliki tradisi geopolitik rawan. Konflik Israel-Palestina, dan isu-isu
ketidakadilan di dalam pemerintahan setempat memicu gerakan-gerakan kekerasan
dan agama sering menjadi instrumennya. Dalam perkembangan selanjutnya, ide-ide
kekerasan menemukan musuh-musuh barunya, yaitu: Amerika Serikat dan sekutunya
yang dianggap sebagai representasi Dajjāl dan Yahudi-Kristen dan selama ini
dianggap tidak adil di dalam menanggapi isu-isu konflik Timur Tengah.
Buku-buku yang ditulis oleh Jamā’ah
Islāmiyah dan Tndhîmul Jihād di Mesir baik di era 1980-an dan
1990-an memperlihatkan garis perjuangan Islam dengan metode kekerasan. Gerakan
tersebut kemudian menjadi titik simpul bagi gagasan terorisme sebagaimana
ditunjukkan oleh Ayman Zawahiri, Osamah bin Laden, dan lain-lainnya yang
mengilhami gerakan-gerakan kekerasan agama di Tanah Air Indonesia. Tujuan dari
gerakan ini adalah terbentuknya pemerintahan Islam internasional yang,
berdasarkan dokumen-dokumen itu, di Asia Tenggara meliputi Indonesia, Malaysia,
Australia, Thailand, Philipina, dan Singapura.
Gerakan Islam radikal ini, tentu
saja, bukanlah sebuah pandangan dunia umum umat Islam. Pandangan dunia ini
hanya dimimpikan oleh sekelompok kecil umat Islam dan telah dicoba dilaksanakan
melalui gerakan-gerakan internasional melalui apa yang diperankan oleh Osamah
bin Laden. Meskipun kecil, gerakan ini memperoleh perhatian luas karena gerakan
terornya yang mengaharu-biru kekerasan dunia lewat Peristiwa WTC 11/9, Bom Bali
I dan Bom Bali II, Bom Madrid, dan kekerasan di Mumbay India, Pakistan, Irak,
Palestina, dan Indonesia.
Kekerasan atas nama Islam itu,
bukannya membesarkan Islam tapi justru telah menodai Islam. Juga telah memicu
serangan AS dan sekutunya terhadap Afghanistan, Irak, dan Lebanon Selatan.
Pilihan gerakan yang dianggapnya dapat menjadikan Islam mulia dan agung,
ternyata justru memurukkannya ke arah yang tak dapat dimaafkan. Gerakan
hitam-putih tersebut menyajikan sebuah gerakan tanpa strategi dan tanpa
perhitungan. Di dunia yang diikat oleh Hukum Internasional, perjuangan bukanlah
dilakukan secara membabi buta. Apalagi fakta bahwa dunia Islam adalah dunia
yang dilanda oleh kemiskinan, mundur dalam teknologi dan ilmu pengetahuan.
Perjuangan melawan ketidakadilan dunia adalah perjuangan jangka panjang
menyangkut pembenahan menyeluruh sistem pendidikan, pengajaran, dan
pemerintahan yang adil di dalam pemerintahan dunia Islam.
Pendapat semacam ini adalah yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh semacam Yusuf Qaradhawi, Hassan Hanafi, Syafii
Maarif, Abdurrahma Wahid, dan lain-lainnya.Tokoh-tokoh itu mewakili sebuah
gerakan intelektual yang menawarkan strategi baru dalam perjuangan Islam.
Karena itu, berbagai varian dan
bentuk kekerasan dalam Islam adalah sebuah tantangan yang terkait bukan saja
dengan aspek-aspek material (kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan), tetapi juga
terkait dengan aspek-aspek doktrinal (cara penyajian ajaran agama kepada
umatnya). Aspek material dan aspek doktrinal adalah dua hal yang telah
memengaruhi baik-buruknya Islam disajikan dalam gemuruh kehidupan modern.
Kebaikan Islam secara konseptual perlu diperjuangkan dalam wujud
tindakan-tindakan umat Islam yang rahmatan lil-ālamin. Demikian
pentingnya aspek dan pengaruh doktrinal pada bentuk-bentuk beragama umat Islam,
sehingga melacak aspek-aspek internal ajaran Islam dalam Syari’ah sangat
penting. Adakah di sana topangan teks-teks atau ayat-ayat yang mendukung gerakan
kekerasan dalam Islam?
B. Ayat-Ayat
Kekerasan atau Ayat-Ayat Cinta?
Penyebutan ayat-ayat kekerasan di
sini tidak dimaksudkan untuk tujuan peyoratif (pejorative), tapi untuk
tujuan penjelasan bahwa ada ayat-ayat yang memberi inspirasi pada tindakan
kekerasan pada sementara umat Islam. Ayat-ayat jihad, ayat-ayat perang, dan
ayat-ayat penegakan kebenaran dan penghilangan kebathilan sering dimaknai
secara sempit dan tidak kontekstual sehingga dapat mendorong tindakan-tindakan
kekerasan. Ayat-ayat tersebut, sejatinya, tidak mendorong perang, pemaksaan,
dan jihad dalam arti sempit. Ayat-ayat itu, andaipun, secara lahiriah mendorong
tindakan-tindakan kekerasan harus dimaknai dengan konteks-konteks baru.
Ayat-ayat itu harus diletakkan dalam kerangka keseluruhan spirit al-Qur’an yang
mengajarkan kebaikan dan ketinggian moral demi tegaknya harkat dan martabat
kehidupan manusia di muka bumi.
Jika ditelusuri di dalam al-Qur’an
ada sekitar 369 ayat tentang peperangan dan 22 kasus tentang jihad. Pesan-pesan
perang dan jihad juga terdapat di dalam banyak hadis yang dikomentari oleh
sejumlah mufassir dalam sejumlah kitab tafsirnya.
Saya akan menyebut beberapa ayat
al-Qur’an dan hadits yang mengesankan kekerasan. Ayat-ayat lain yang serupa
tentu tersebar di beberapa surat dalam al-Qur’an, namun tidak semua diakomodir.
Ayat-ayat itu diklasifikasi dalam tiga tipologi, yaitu ayat-ayat jihad,
ayat-ayat perang, dan ayat-ayat penegakan hak dan penghilangan kebathilan.
1. Ayat-Ayat
Jihad
xsù ÆìÏÜè? úïÍÏÿ»x6ø9$# NèdôÎg»y_ur ¾ÏmÎ/
#Y$ygÅ_ #ZÎ72 ÇÎËÈ
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan
berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar.” (Q. s.
al-Furqān/25:52)
ôQr& ÷Läêö7Å¡ym br&
(#qè=äzôs?
sp¨Yyfø9$# $£Js9ur
ÉOn=÷èt ª!$# tûïÏ%©!$#
(#rßyg»y_ öNä3ZÏB
zNn=÷ètur tûïÎÉ9»¢Á9$#
ÇÊÍËÈ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata
orang-orang yang sabar.” (Q. s., Ali Imrān/3:142)
¨bÎ)
z`Ï%©!$#
(#qãZtB#uä
(#rãy_$ydur
(#rßyg»y_ur
óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/
öNÍkŦàÿRr&ur
Îû
È@Î6y
«!$#
tûïÏ%©!$#ur
(#rur#uä
(#ÿrç|ÇtR¨r
y7Í´¯»s9'ré&
öNåkÝÕ÷èt/
âä!$uÏ9÷rr&
<Ù÷èt/
4 tûïÏ%©!$#ur
(#qãZtB#uä
öNs9ur
(#rãÅ_$pkç
$tB
/ä3s9
`ÏiB
NÍkÉJu»s9ur
`ÏiB
>äóÓx«
4Ó®Lym
(#rãÅ_$pkç
4 ÈbÎ)ur
öNä.rç|ÇZoKó$#
Îû
ÈûïÏd9$#
ãNà6øn=yèsù
çóǨZ9$#
wÎ)
4n?tã
¤Qöqs%
öNä3oY÷t/
NæhuZ÷t/ur
×,»sVÏiB
3 ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
×ÅÁt/
ÇÐËÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan
Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi dan
(terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada
kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan
tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan)
agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah
ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Q. s., al-Anfāl/8:72).
Dan ayat-ayat lainnya.
2. Ayat-Ayat Perang
|=ÏGä.
ãNà6øn=tæ
ãA$tFÉ)ø9$#
uqèdur
×nöä.
öNä3©9
( #Ó|¤tãur
br&
(#qèdtõ3s?
$\«øx©
uqèdur
×öyz
öNà6©9
( #Ó|¤tãur
br&
(#q6Åsè?
$\«øx©
uqèdur
@°
öNä3©9
3 ª!$#ur
ãNn=÷èt
óOçFRr&ur
w
cqßJn=÷ès?
ÇËÊÏÈ
“Diwajibkan atas kamu
berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (Q. s., al-Baqarah/2:216).
$yJ¯RÎ)
(#ätÂty_
tûïÏ%©!$#
tbqç/Í$ptä
©!$#
¼ã&s!qßuur
tböqyèó¡tur
Îû
ÇÚöF{$#
#·$|¡sù
br&
(#þqè=Gs)ã
÷rr&
(#þqç6¯=|Áã
÷rr&
yì©Üs)è?
óOÎgÏ÷r&
Nßgè=ã_ör&ur
ô`ÏiB
A#»n=Åz
÷rr&
(#öqxÿYã
ÆÏB
ÇÚöF{$#
4 Ï9ºs
óOßgs9
Ó÷Åz
Îû
$u÷R9$#
( óOßgs9ur
Îû
ÍotÅzFy$#
ë>#xtã
íOÏàtã
ÇÌÌÈ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat
mereka beroleh siksaan yang besar.” (Q. s., al-Māidah/5:33).
Dan masih banyak lagi
ayat yang sejenis. Ayat-ayat itu, sebenarnya punya konteks tertentu. Para ahli
tafsir kemudian memberi komentar-komentar yang “sering” melepaskan ayat-ayat
itu dari konteksnya. Apalagi tafsir-tafsir itu ditulis dalam ‘suasana’ perang,
konflik, dan pandangan dunia yang masih eksklusif sehingga menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang eksklusif pula. Abad-abad lahirnya tafsir, terutama
pada Abad Pertengahan, adalah abad-abad penuh konflik (Perang Salib) atau
abad-abad perkembangan Islam yang masih menyajikan semangat Arabisme. Semangat dunia waktu itu, belum
menampilkan watak universalisme, dalam arti, belum lahir gagasan kerja
sama-kerja sama atas dasar semangat kemanusiaan internasional. Di masa lalu,
sebuah bangsa yang kuat dan memiliki militer yang kuat akan melakukan
penaklukan-penaklukan terhadap bangsa lain. Aturan internasional tentang
keberadaan sebuah negara-bangsa (nation-state) belum ada, sehingga
penaklukan atau pencaplokan atas wilayah-wilayah lain lazim. Itulah sebabnya,
karya-karya tafsir tentang semangat Hak Asasi Manusia (HAM) dalam arti modern
belum ada. Universalisme Islam yang tertera di dalam al-Qur’an kemudian hanya
dibatasi pada ‘semangat’ eksklusifisme. Namun, penafsiran ini mengalami banyak
perubahan pada era lahirnya tatanan internasional mengenai ‘negara-bangsa’ atau
nation-state.
3. Ayat-Ayat Penegakan Kebenaran
dan Perlawanan Terhadap Kebathilan
Ï9ºs
cr'Î/
©!$#
uqèd
,ysø9$#
cr&ur
$tB
cqããôt
`ÏB
¾ÏmÏRrß
uqèd
ã@ÏÜ»t6ø9$#
cr&ur
©!$#
uqèd
Í?yèø9$#
çÎ6x6ø9$#
ÇÏËÈ
“(Kuasa Allah) yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya
apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar” (Q. s., al-Hajj/22:62)
wur (#qÝ¡Î6ù=s?
Yysø9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/
(#qãKçGõ3s?ur
¨,ysø9$# öNçFRr&ur
tbqçHs>÷ès?
ÇÍËÈ
“dan janganlah kamu campur adukkan yang hak
dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui.” (Q. s., al-Baqarah/2:42)
`ä3tFø9ur
öNä3YÏiB
×p¨Bé&
tbqããôt
n<Î)
Îösø:$#
tbrããBù'tur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
tböqyg÷Ztur
Ç`tã
Ìs3YßJø9$#
4 y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
cqßsÎ=øÿßJø9$#
ÇÊÉÍÈ
“dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Q. s., Ali Imrān/3:104)
Selanjutnya, ayat-ayat
yang terkait dengan kemungkaran dan penegakan kebenaran dapat dilacak pada Q.
s., 3:110, 114; 5:79; 9:12, 67, 71; 18:74 19:27, 89; 22:41; 24:21 dan lain
sebagainya.
Selain itu, di dalam
hadis juga ditemukan pesan-pesan ‘perang’ (baik memerangi non-Muslim sampai
mereka membayar jizyah, maupun orang-orang musyrik, atau orang-orang
murtad) dan pesan ‘jihad’ yang sering dikomentari secara eksklusif dan
sempit. Saya kutip terjemahan dari hadis-hadis itu sebagian, yakni antara lain:
“Diriwayatkan oleh
Muhayyisah: Rasulullah bersabda: “Jika kamu beruntung berjumpa dengan
orang-orang Yahudi, bunuh mereka.” Lalu Muhayyisah melompat ke arah Shubaybah,
salah seorang pedagang dari kaum Yahudi. Dia (Shubaybah) merupakan kerabat
dekat mereka. Dia (Muhayyisah) lalu membunuh pedagang itu. Pada saat itu
Huwayyisah (saudara Muhayyisah) belum memeluk Islam.” (Sunan Abu Dawud, Kitab
13, no. 2996).
“Rasulullah SAW
ditanya, amal apa yang paling utama? Rasulullah menjawab, “beriman kepada
Allah”, lalu apalagi?, “jihad di jalan Allah”, lalu apalagi?, “haji mabrur”.
(HR Bukhori no. 49, dikelurkan dalam bab iman no 25, Muslim no. 118,
at-Tirmidzi dalam bab keutamaan jihad no. 1582).
Ibnu Ishaq dan
al-Waqidi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda di suatu pagi setelah
terbunuhnya Ka’ab Ashraf, “Bunuhlah setiap orang Yahudi yang mengulurkan tangan
padamu”. (Kisah ini juga ditemui dalam ‘Tārîkh Thabarî jilid 7 halaman
97.
Terlepas dari keabsahan hadis-hadis tersebut, hadis-hadis itu dinukil
oleh sejumlah mufassir untuk memperkuat spirit jihad dan permusuhannya terhadap
non-Muslim atau orang-orang musyrik. Sebenarnya, banyak hadis-hadis sejenis.
Untuk tidak terlalu panjang, saya nukilkan lima kategori yang terkait dengan
perang atau jihad (“kekerasan”) sebagaimana didokumentasikan oleh Ibnu Katsir.
Menurut Ibn Katsir ada lima perintah, yaitu: 1) perintah perang untuk menghapus
Syirik dan kufur, 2) perintah perang atau jihad atas Ahlu Kitab hingga mereka
membayar jizyah, 3) perintah perang atas orang-orang kafir di daerah yang jauh
maupun yang dekat, 4) berita gembira bagi orang-orang Islam yang dapat
menemukan daerah tak bertuan atau menaklukkan seluruh dunia ini, dan 5) berita
gembira bagi orang-orang Islam yang dapat menguasai Ahli Kitab.
Di bawah ini adalah ayat-ayat yang ditafsirkan Ibn Katsir dalam mendukung
lima hal itu. Yakni:
öNèdqè=ÏG»s%ur
4Ó®Lym
w
cqä3s?
×puZ÷GÏù
tbqà6tur
ß`Ïe$!$#
¼ã&#à2
¬!
4 ÂcÎ*sù
(#öqygtGR$#
cÎ*sù
©!$#
$yJÎ/
cqè=yJ÷èt
×ÅÁt/
ÇÌÒÈ
“dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka
berhenti (dari kekafiran), maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka
kerjakan.” (Q. s., al-Anfāl/8:39)
Pengertian
ayat [وَقَـتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ] diartikan
oleh Abul ‘Aliyah, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, al-Rabi’ bin Anas, al-Suddi,
Muqatil bin Hayyan dan Zayd bin Aslam sebagai “Sehingga tak ada lagi shirik”.
Selanjutnya, Muhammad bin Ishaq menyatakan bahwa dia menginformasikan bahwa dia
memperoleh kabar dari Az-Zuhri, dari
`Urwah bin Az-Zubayr dan ulama lainnya bahwa [حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ] (sehingga tak ada lagi fitnah)
diartikan sebagai “non-Muslim harus dianiaya sampai mereka meninggalkan
agamanya”. (lihat komentar Ibn Katsir tentang ayat di atas). Makna itu sejalan
dengan lanjutan ayat [وَيَكُونَ
الدِّينُ كُلُّهُ لِلهِ] yang
diartikan oleh al-Dahhak dari Ibn ‘Abbas dari Nabi SAW dengan “sehingga tawhid
diamalkan secara murni karena Allah”. Sementara al-Hasan dan Qatadah
mengartikannya “Sehingga kalimat Lā ilāha illa Llāh diucapkan”. Muhammad
bin Ishak lebih tegas lagi memaknai ayat itu dengan “Sehingga tawhid diamalkan
secara murni karena Allah, tanpa shirik, dan semua sekutu-Nya terjauhkan
darinya”. Penjelasan-penjelasan itu memperlihatkan ‘kesan’ kekerasan Islam atas
perbedaan agama dan keyakinan jika dibaca di abad ketika semua manusia berjalan
ke arah kerjasama dan perdamaian seperti sekarang ini.
Hadis
lainnya adalah perang atas orang-orang kafir sebagaimana diriwayatkan dalam
sahih Bukhari dan Muslim, yakni:
«أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَإِذَا
قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، إِلَّا بِحَقِّهَا،
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَل»
“Aku diperintahkan untuk
memerangi orang sampai mereka mengucapkan “Tiada Tuhan yang layak disembah
kecuali Allah’. Jika mereka mengucapkan kalimat itu, mereka akan terjaga darah
dan hartanya dari saya, kecuali ada alasan yang membenarkannya, dan perhitungan
mereka ada di sisi Allah azza wajalla.”
Juga di
dalam Sahih (Bukhari dan Muslim) diriwayatkan bahwa Abu Musa al-Ash’ary
berkata: “Rasulullah ditanya tentang orang yang berperang karena keberaniannya
dan karena Allah, beliau bersabda:
«مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ
فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَل»
“Barang siapa berperang untuk
menegakkan kalimat Allah, maka dia berada dijalan Allah ‘azza wajalla.”
Bukan maksud saya di
sini untuk menampilkan ayat-ayat atau hadis-hadis sejenis secara berlebihan.
Saya menampilkan sebagian untuk memperlihatkan bahwa kekerasan terjadi karena
adanya doktrin teks-teks tersebut yang dilepaskan dari konteks-konteks sejarah
dan sistem sosial yang berlaku. Teks-teks itu berjalin kelindan dengan
abad-abad yang belum mapan ketika suasana dunia dipenuhi oleh watak penaklukkan
manusia atas wilayah-wilayah yang ‘tak bertuan’. Tatanan dunia waktu itu masih
dalam ‘hukum rimba’ di mana yang kuat secara militer dapat menaklukkan bangsa
lain dan peradaban lain. Ayat-ayat dan hadist-hadits itu harus dibaca dalam
konteks sosio-historis semacam itu. Makna dan pesannya harus berubah jika ingin
diterapkan di jaman sekarang.
Ayat-ayat dan
hadis-hadis itu, sebenarnya, mengajarkan kepada kebaikan-kebaikan universal,
otentik, dan sejati, tetapi sering dilepaskan dari konteksnya sehingga
mendorong pada tindakan-tindakan sepihak atas nama ayat-ayat Allah. Contohnya
adalah tindakan-tindakan pengusiran atau sweeping pada orang-orang atau
sekelompok orang yang dianggap sebagai pelaku kejahatan dan atau kemungkaran,
non-Muslim, orang-orang yang berbeda keyakinan, dan lain sebagainya. Pelepasan
ayat dan hadis dari konteks sejarah dan sosial kekinian akan menghasilkan
ayat-ayat kebencian. Ayat-ayat cinta berubah menjadi ayat-ayat kebencian yang
menempatkan penegakan kebenaran dalam satu kerangka permusuhan bukan dalam
kerangka “cinta damai” dengan ketinggian akhlaq al-karimah. Ayat-ayat dan
hadis-hadis itu kala itu masih ditafsirkan dalam perspektif suasana ‘konflik’
di mana umat Islam dalam tarikan nafas permusuhan dengan kaum Yahudi, Musyrik,
dan Kristen.
Karena itu, dalam
konteks sekarang pesan ayat-ayat dan hadis-hadis itu, tidak relevan lagi
ditafsirkan dengan semangat konflik dan kebencian. Sebagai gantinya, perlu
menonjolkan ayat-ayat cinta yang jumlahnya jauh lebih banyak. Ayat-ayat cinta
itu diletakkan dalam kerangka ‘ajaran dasar Islam’ yang sebenarnya sebagai
rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil-‘alamin).
Selanjutnya, di masa
lalu, terutama di masa-masa ‘Perebutan Kekuasaan’ antara Bani Umayah, Bani
Abbasiyah, Bani Fathimiyah, dan kerajaan-kerajaan kecil dalam kekuasaan Islam,
ayat-ayat dan hadis-hadis itu sering digunakan untuk mengecam lawannya.
Ayat-ayat ini dipakai untuk menghasut umat agar membenci pihak yang menjadi
lawan seterunya. Konflik Sunni-Syi’ah di masa lalu, dan dalam batas-batas
tertentu di masa kini terutama di Irak, sering mengecam lawan dengan
argumen-argumen ayat yang sudah dikerangkeng ke dalam pandangan dunianya atau
ideologinya. Di masa lalu, kelompok yang dengan tegas menggunakan ideologi
kekerasan ditampilkan oleh kelompok Khawarij (kelompok yang memisahkan diri
dari pasukan Ali bin Abi Thalib) pada Perang Shiffin. Kelompok khawarijlah yang
memprakarsai pembunuhan pemimpin-pemimpin Islam saat itu yang dianggap sebagai
penyebab konflik-konflik di dalam Islam. Kelompok inilah yang berhasil membunuh
Ali bin Abi Thalib. Terbunuhnya Usman bin Affan sebelum Ali bin Thalib menandai
awal fitnah terbesar pertama dalam sejarah yang disusul dengan Perang Jamal
antara pasukan A’isyah dan Ali yang menimbulkan banyak korban di pihak keduanya
dan ini merupakan al-fitnah al-akbar al-tsani (malapetaka terbesar
kedua) dalam sejarah Islam. Darah yang begitu mudah mengalir sering memperoleh
“persetujuan” teologis oleh pemahaman nash-nash itu dalam perjalanan sejarah
Islam.
C. Peran Tafsir-Tafsir “Kekerasan”
Sejumlah tafsir yang
mengomentari ayat-ayat perang dan jihad ‘tak dapat menghindari’ tafsir-tafsir
“kekerasan.” Sebenarnya, penafsiran semacam ini dapat dimengerti jika dipahami
dari konteks jamannya. Tapi karena pemahaman mufassir atas al-Qur’an dan Hadis
ber-evolusi dari jaman ke jaman (likulli maqām maqāl [setiap ruang dan waktu yang
berbeda punya pendapat yang berbeda pula]), maka tafsir-tafsir pun berubah.
Tafsir-tafsir al-Qur’an adalah pendapat mufassir yang tidak terlepas dari
pandangan hidup, pilihan bacaan, afiliasi mazhab, dan wawasan yang dimilikinya.
Karena itu, pemahaman mereka relatif dan tidak setara dengan al-Qur’an.
Kesalahan pandangan umat belakangan yang sering terjadi adalah tafsir-tafsir
yang ditulis terutama pada masa keemasan Islam (sekitar Abad Pertengahan) oleh
para ulama dianggap sebagai suatu kebenaran yang harus diikuti dan sebagai
kemutlakan yang total. Akibatnya, umat tidak kritis pada tafsir-tafsir itu dan
bahkan mempraktikkan komentar-komentar mufassir itu dalam kehidupan mereka
tanpa reserve.
Lahirnya tafsir-tafsir
yang terus terjadi sampai hari ini (dan mungkin sampai hari kiamat) menunjukkan
relatifnya kebenaran tafsir-tafsir al-Qur’an (di Indonesia sendiri banyak
sekali tafsir al-Qur’an termasuk yang berbahasa Jawa, Sunda, dan Indonesia dari
banyak disiplin ilmu dan tema). Ini saya kemukakan untuk menunjukkan bahwa para
mufassir memiliki peran yang tidak kecil di dalam menyajikan ajaran-ajaran
Islam yang damai ataupun yang tidak damai yang dapat memengaruhi
perilaku-perilaku kekerasan atau perdamaian umat Islam. Dan di sepanjang
sejarah telah menunjukkan hal itu.
Segera harus
dikemukakan, ayat-ayat perang dan jihad di dalam al-Qur’an tidaklah mencapai 20
persen dari total 6662 ayat. Karena itu, ‘tafsir kekerasan’ tidaklah mencakup
semua ayat, tapi hanya ayat-ayat tentang perang dan jihad. Para mufassir, di
sisi lain, juga menampilkan ‘ayat-ayat cinta damai’ ketika menafsirkan
ayat-ayat mu’amalah. Sebagai contoh, adalah komentar Jalaluddin al-Suyuti dan
Jalaluddin al-Mahalli yang mengomentari ayat 99 dari Surah Yunus dalam Tafsir
Jalalain:
öqs9ur
uä!$x©
y7/u
z`tBUy
`tB
Îû
ÇÚöF{$#
öNßg=à2
$·èÏHsd
4 |MRr'sùr&
çnÌõ3è?
}¨$¨Z9$#
4Ó®Lym
(#qçRqä3t
úüÏZÏB÷sãB
ÇÒÒÈ
“dan Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?” QS, Yunus [10]: 99.
Kitab tafsir yang sangat dihormati, Tafsir Jalalain, membuat
tekanan sentral yang lebih memperjelas ayat ini dengan mengatakan, “hendak kau
paksa jugakah orang untuk melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin
melakukannya terhadap mereka?” Komentar Jalalain tersebut dilihat dari sudut
HAM adalah sebuah lompatan toleransi yang amat maju. Sekalipun begitu, harus
diakui bahwa komentar-komentar tentang perang dan jihad dalam khazanah tafsir
secara umum menggambarkan sikap-sikap eksklusif dan ‘tidak toleran’ sebagaimana
dinukil dalam Tafsir Ibn Katsir di atas (lihat pula al-Qurthubi, al-Thabary,
terutama ketika menafsirkan ayat-ayat perang dan jihad).
Secara umum, penafsiran ayat-ayat perang dan jihad dimaknai secara fisik
(perang fisik, untuk tujuan kekuatan Islam, tegaknya kalimat Allah [tawhid],
dakwah Islam) sehingga apabila jihad dan perang ditinggalkan akan berakibat
pada kehancuran Islam, kehinaan, kekalahan, dan hilangnya tanah, otoritas, dan
kepemimpinan. Model logika ini adalah cermin masyarakat Abad Pertengahan dan
logika ini memenuhi model tafsir al-Qur’an, terutama, di abad-abad itu. Jadi,
ada pengaruh politik, kekuasaan, dan budaya yang menyusup ke teks-teks tafsir.
Dari sudut konteks, penafsiran mereka relevan, karena di Barat dan di Timur
kala itu menyajikan ‘suasana hati’ dan pengalaman semacam itu. Celakanya adalah
tafsir-tafsir itu terus dicetak tanpa ‘catatan kaki’ dari para editor di
kemudian hari sehingga seolah-olah tidak ada perubahan konteks, suasana hati,
dan semangat etika-moral masyarakat modern.
Karena itu, umat Islam di seluruh dunia yang membaca tafsir-tafsir klasik
tetap berada pada ‘kerangkeng semangat perang’ yang penuh kebencian atas
kelompok-kelompok non-muslim atau orang-orang yang dianggap melakukan perbuatan
syirik. Dalam konteks argumen itu, tidak ada pergeseran nilai dan makna-makna
baru atas konsep perang dan jihad. Konsep perang dan jihad menjadi teks mati
yang tidak berubah dan terkesan tak boleh diubah. Logika semacam ini jelas
merugikan Islam yang seutuhnya agama damai dan rahmatan lil-‘alamin.
Konsep-konsep perang dan jihad yang ada dalam tafsir-tafsir itu,
celakanya, menjadi alat bukti bagi sementara kalangan (pengkaji
Barat/orientalis) untuk mencap bahwa Islam adalah agama teroris yang
mengobarkan perang dan suka menaklukkan wilayah dengan kekerasan. Cap-cap Islam
sebagai agama “pedang” dan “teroris” lahir dari penafsiran ayat-ayat perang dan
jihad yang tidak kontekstual itu.
Para pengkaji Barat atau orientalis seperti A. Guillaume, Joseph Schatt,
Weinsink, Hurgronje, Ignaz Golzhiher (untuk menyebut beberapa di antaranya)
mengulang-ulang kutipan para penafsir dengan tambahan-tambahan baru yang lebih
mempertebal Islam sebagai agama “liar” dan penuh kekerasan. A. Guillaume,
misalnya, menulis “Just prior to Muhammad’s leaving for Medina, he received
a revelation allowing him fight the Meccans. He knew that in Medina, he had a
group of armed men who would support him. Furthermore, in Medina, would be more
distant from the Meccans and their attempts to oppress or kill him.”
(“Tepat sebelum Muhammad meninggalkan Madinah, beliau menerima wahyu yang
mengizinkannya memerangi penduduk Mekah. Beliau tahu bahwa di Madinah, dia
punya pasukan bersenjata yang dapat membantunya. Selanjutnya, di Madinah, Nabi
jauh dari ancaman penduduk Mekah yang menindas dan membunuh beliau” lihat A.
Guillaume, h. 212). Kutipan ini dipakai untuk menjelaskan bahwa posisi Nabi
Muhammad di Madinah sudah kuat sehingga bisa melakukan ekspansi kekuasaan. Hal
ini tidak pernah dilakukan di Mekah ketika beliau masih lemah. Seorang
misionaris yang menggunakan nama samaran Silas, menempatkan kutipan ini dengan
judul “Beginning of Muhammad’s Violence” (awal kekerasan Muhammad) sebagai cara
untuk mencap bahwa Muhammad adalah seorang teroris (lihat Silas Muhammad,
Islam, and terrorism dalam
http://www.answering-islam.org./Silas/Terrorism.htm)
Kutipan A. Guillaume di
atas berasal dari Sîrah
Nabawiyyah karangan
Ibn Ishaq. Kutipan serupa juga dilakukan Weinsink dari Kitab al-Tabaqah
al-Kabîr
karya Ibn Sa’ad
Juz II halam 32 tentang perintah pembunuhan Abu Afak oleh Nabi. Abu Afak adalah
seorang Yahudi tua berusia 120 tahun yang dituduh menghina Nabi Muhammad SAW.
Kisah-kisah ini dikutip berulang-ulang dalam riwayat-riwayat dan sebagiannya
dikutip oleh mufassir atau sejarahwan Islam secara tidak kritis.
Dalam Nailul Authār karya Imam al-Syaukani Jilid VII
halaman 213-215, disebutkan hukuman atas orang yang menghina Nabi Muhammad.
Diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang artinya, “Bahwa
ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi
Muhammad SAW (oleh karena perbuatannya itu), maka perempuan itu telah dicekik
sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah SAW menghalalkan
darahnya” (HR Abu Dawud). Al-Syaukani mengutip ini untuk menjelaskan
hukuman yang pantas dikenakan pada orang-orang yang mencela Nabi. Tapi, kutipan
ini oleh sementara kalangan dipandang sebagai contoh kekerasan dalam Islam yang
justru terkesan ‘memperoleh persetujuan Nabi’. Teladan Nabi Muhammad SAW yang
santun, penuh kasih, yang tak tahan pada penderitaan anak yatim, orang miskin,
yang menyayangi binatang dan merawat pohon, hilang oleh tafsir-tafsir semacam
itu. Bahayanya adalah pemakaian riwayat-riwayat itu oleh orang-orang yang tidak
mengerti konteks dan tidak bertanggungjawab. Riwayat-riwayat itu di tangan
mereka bisa menjadi alat legitimasi kekerasan. Atau oleh orientalis dan
pembenci Islam dianggap sebagai fakta-fakta kekerasan dalam ajaran Islam.
Di kalangan ulama
kontemporer, Sayyid Quthub dianggap yang terdepan dalam menyajikan
tafsir-tafsir yang mengilhami kekerasan atau sikap-sikap radikalisme dalam
Islam. Tafsirnya, Fî Zilāl al-Qur’ān mengajukan konsep Islam
Kaffah yang dimaknai sebagai meliputi lembaga-lembaga negara atau
formalisasi Syari’ah dalam konteks politik pemerintahan. Istilah al-manhaj
al-rabbanî adalah gagasan “Sistem Tuhan” yang memuat moralitas yang harus
ditegakkan baik dalam kehidupan pribadi maupun lembaga-lembaga negara. “Sistem
Tuhan” atau al-manhaj al-rabbanî adalah lawan dari “Sistem Jahiliyyah”
atau al-manhaj al-jahili yang menyajikan sistem syetan dan lebih
menekankan pada kepentingan-kepentingan duniawiyah. Konsep Sayyid Quthub yang
dipengaruhi oleh Hasan al-Banna dan Abul ‘A’la Maududi kemudian memengaruhi
gerakan-gerakan politik yang tergabung dalam Jihad Islami di Mesir dan Jama’ah
Islamiyah di Timur Tengah dan bahkan dunia. Osamah bin Laden secara
terang-terangan mengakui pengaruh Sayyid Quthub ini dalam suatu pernyataannya.
Seorang penulis Syiria, Ali Syu’aibi dalam karyanya “Sayyid Quthub
Dā’iyat al-Irhāb wa al-Takfîr wa al-Dam” (Sayyid Quthub Provokator
Terorisme, Pengkafiran, dan Pertumpahan Darah) menyebutkan bahwa Sayyid Quthub
gampang mengkafirkan sesama muslim dan karena itu dia menjadi provokator. Dalam
bab terakhir, Syu’aiby, mendokumentasikan kesaksian para ulama yang menentang
pendapat-pendapat Sayyid Quthub yang terlalu ekstrem itu. Untuk meyakinkan
Syu’aiby menyebut ulama-ulama penentang Quthub di antaranya adalah Yusuf
Qaradhawi, Syaikh Rabi’ al-Madkhali, Farid Abdul Khaliq, Ali Juraisyah, dan
lain-lainnya.
Dr. Rabi’ al-Madkhali, misalnya, menghitung kesalahan dan bid’ah besar
yang dilakukan Sayyid Quthub. Catatannya itu mencapai 12 bid’ah di mana Sayyid
Quthub berbeda dengan mayoritas umat Islam. Kesalahan dan bid’ah besar itu
antara lain:
Pertama, etika buruk terhadap Nabi Allah dan juru bicara-Nya, Musa
As, kedua, hujatannya terhadap para sahabat Rasulullah SAW, ketiga, perselisihannya
dengan Ahlussunah dan mayoritas umat di mana ia menafsirkan hakimiyyah secara
sempit, keempat, pengkafirannya terhadap masyarakat-masyarakat Islam, kelima,
meragukan sebagian masalah aqidah, keenam, pendapatnya tentang
kemakhlukkan al-Qur’an, dan Allah tidak berbicara, ketujuh, pendapatnya
tentang wihdat al-wujud, inkarnasi dan jabr (fatalisme), kedelapan,
pemahaman jahmiyyah sifat-sifat Allah mirip kaum Mu’tazilah, kesembilan,
sikap inkarnya terhadap Mîzān dan wazn pada hari kiamat, kesepuluh,
keyakinannya bahwa ruh itu azali, kesebelas, meremehkan mukjizat
yang dimiliki Rasulullah, dan keduabelas, pendapatnya bahwa syirik masyarakat
Arab bukan karena masalah-masalah aqidah, tapi karena ketidakpercaayaan mereka
pada masalah hākimiyyatullāh (lihat bab terakhir karya Ali Syu’aiby, h.
162).
Penentangan karya-karya tafsir yang menyajikan ideologi ekstrem dan
mengilhami kekerasan sebagaimana terjadi pada kasus Sayyid Quthub, sebenarnya
terjadi pada para mufassir terdahulu. Karya tafsir Sayyid Quthub adalah ditulis
di abad modern sebagai bentuk protes atas represi politik. Karena itu,
kritik-kritik tersebut menyajikan pandangan modern mengenai ‘suasana hati’ yang
telah bergeser ke arah persaudaraan global.
Posisi saya di sini
bukan menyalahkan para mufassir, karena mereka mengutip riwayat-riwayat itu
dengan makna yang kontekstual dengan konteks jamannya kala itu. Yang dibutuhkan
sekarang adalah memberi makna baru atas riwayat-riwayat itu dan menonjolkan
riwayat-riwayat tandingan yang lebih santun, toleran, cinta damai, dan etika
Islam yang sangat agung. Penyajian tafsir yang cinta damai, penuh etika, dan
persaudaraan manusia sejagad (al-ukhuwwah al-insaniyyah al-‘alamiyah)
kini sangat diperlukan untuk bersama-sama menghadapi krisis-krisis lingkungan,
kemiskinan, wabah penyakit, bencana-bencana, dan penegakan keadilan global.
Semua itu memerlukan peran para agamawan melalui peran mereka dalam menyajikan
doktrin-doktrin agama yang inklusif.
D. Infiltrasi Ranah Politik dalam
Tafsir Kekerasan
Dalam
sejarah kekerasan, ranah politik adalah yang terdepan yang menjadi penyebab
utama. Politik kekuasaan memiliki watak konflik dan ‘membunuh’ pihak-pihak yang
mengancam kepentingannya. Sebelum aturan-aturan politik mengalami kemajuan
seperti sekarang yang lebih ‘santun’, politik sering berkonotasi ‘darah’.
Seperti sebuah kelahiran yang sering mengeluarkan darah, politik sering
merupakan era kelahiran sebuah rejim dengan kepentingan-kepentingan baru.
Itulah sebabnya, politik sering mencomot aspek-aspek teologi, Tuhan,
keyakinan-keyakinan suci agar berjalin dalam semangat tertinggi. Paul Tillich
mengatakan bahwa keyakinan pada Tuhan dan ajaran-ajaran orang suci adalah
dimensi tertinggi yang disebutnya the ultimate truth. Keyakinan terakhir
dan terdalam seperti agama dapat memperkuat sebuah spirit perjuangan dan ini
bisa mendorong umat tertentu melakukan pengorbanan apa saja demi keyakinannya
itu.
Dalam
sejarah Islam, hampir perpecahan terjadi karena masalah politik. Bahkan sejarah
dalam Islam banyak didokumentasikan dalam Kitab al-Maghāzi atau ensiklopedi ‘Peperangan’. Hal
ini demikian karena perang adalah peristiwa besar yang mudah diingat oleh
pelaku dan karena itu banyak ditulis dalam buku-buku sejarah. Malapetaka Besar
Pertama (al-fitnat al-kubra al-ūlā) dan Malapetaka Besar Kedua (al-fitnat
al-kubrā al-tsanî) dalam sejarah Islam adalah karena faktor politik. Yakni
pembunuhan Usman bin Affan yang sedang menjabat, dan Perang Jamal antara
pasukan A’isyah dan pasukan Ali bin Abi Thalib karena perbedaan politik tentang
siapa yang pantas menjadi khalifah.
Demikian pula, terbunuhnya Husein
bin Ali bin Abi Thalib oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah adalah karena politik.
Husein sebagai pewaris syah dan lebih pantas menjadi khalifah dihabisi,
dipenggal, dan kepalanya dijadikan mainan oleh pasukan Yazid karena posisi
Husein dianggap membahayakan kekuasaan Yazid. Kekerasan-kekerasan ini terjadi
ketika perkembangan Islam telah masuk ke jantung peradaban lain.
Kekerasan-kekerasan ini terus berlangsung hingga di jaman para khalifah.
Politik telah masuk ke ranah teologi dan pesanan tulisan oleh sejumlah penguasa
dilakukan untuk mendukung sistem kekuasaan para khalifah sendiri. Tafsir-tafsir
dan sejarah ditulis, yang terkadang, hanya menjadi kepanjangan tangan para
penguasa. Karya al-Ahkām al-Sulthāniyyah, misalnya, berisi
gagasan-gagasan yang mendukung penguasa. Demikian pula karya Abu Yusuf. Al-kharāj,
yakni tentang pajak juga mendukung gagasan yang sejalan dengan penguasa
weaktu itu. Terlepas dari manfaat-manfaat teoritik karya-karya itu, karya-karya
tersebut mencerminkan sebuah infiltrasi politik ke ranah tafsir-tafsir atau
kitab-kitab yang dibubuhi banyak ayat dan hadis. Ketika karya-karya itu
dipenuhi ayat-ayat dan hadis-hadis, maka nilainya menjadi lain dan menyajikan
kekuatan keyakinan tersendiri.
Contoh-contoh dari kedua karya itu
tak seberapa bagi terjadinya suatu
gagasan kekerasan bahkan malah positif. Yang ingin saya katakan di sini adalah
infiltrasi politik ke dalam karya-karya tafsir yang kemudian dibaca oleh umat
serta memengaruhi tindakan-tindakan politik mereka seperti dalam karya Sayyid
Quthub yang memengaruhi gerakan-gerakan politik Jihad Islami dan Jama’ah
Islamiyah di Mesir. Contoh lainnya yang dikemukakan oleh Khaled Aboul Fadhl
adalah gerakan Wahabi yang berkolaborasi dengan keluarga Sa’ud. Gerakan Wahabi
yang dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taymiyyah yang mengusung kemurnian dan
kesucian Islam menampilkan diri sebagai sangat eksklusif karena tidak toleran
pada pemeluk Islam yang masih mempertahankan budaya atau tradisi-tradisi
non-Islam. Doktrin yang mengusung kredo “kembali kepada kemurnian al-Qur’an dan
Hadis” menempel pada gerakan politik kekuasaan Sa’ud yang hingga sekarang masih
mencirikan garis Islam yang ‘eksklusif’.
Di Indonesia, gerakan pemurnian
memakan korban dan konflik yang tidak murah. Perang Paderi di Sumatera Barat
antara kelompok santri pimpinan Imam Bonjol, konflik Abangan dan Santri di
Jawa, dan lain-lain adalah contoh-contoh konflik oleh gerakan pemurnian ini.
Robert W. Hefner bahkan menyebut bahwa kekerasan massal pada tahun 1965
merupakan representasi dari konflik antara Santri dan Abangan terutama yang
terjadi di daerah-daerah Jawa (Madiun, Solo, dan lain-lainnya).
Kembali pada masalah infiltrasi
politik pada tafsir, pada era 1980-an, gerakan-gerakan agama yang mengusung
tema-tema formalisasi Syari’ah muncul di Mesir dan Timur Tengah. Apa yang
disebut sebagai ‘fikih kekerasan’ hadir sebagai respon politik atas represi
politik penguasa lokal yang dialami oleh umat Islam di sana. Sedikitnya ada 10
manuskrip yang menyajikan gerakan politik dalam balutan doktrin agama atau
teologi pada 1980-an hingga 1987. sepuluh manuskrip itu antara lain:
- Jihad Farida Ghaibah, karya Muhammad Andussalam Faraj tahun 1981 sebelum terbunuhnya Presiden Anwar Sadat,
- Ashnāf al-Hukmi wa Hukkām, karya Syeikh Omar Abdurrahman tahun 1982.
- Sikap Jamaah Islamiyah terhadap masalah parpol di Mesir dikeluarkan oleh JI pada awal tahun 1981.
- Mistāq al-Amal Islāmî tahun 1985 oleh JI
- Deklarasi Perang terhadap Parlemen Mesir (JI tahun 1986)
- Fashlul Syara’ wa Naql fi Mas’alat al-‘Udzri bil Jahl (Uraian Syara’ dan Naql).
- Manhaj Jama’ah Islām, manuskrip yang ditulis oleh Abud Zumar—Emir Jama’ah Jihad Islami, Kairo, Leman Turroh 1986.
- Hatmiyatul Muwājahah (keharusan konfrontasi), Jama’ah Islamiya tahun 1987 yang ditulis oleh Najih Ibrahim.
- Falsafat al-Muwājahah, karya Ab al-Fida Tareq Zumar, Jihad Islami tahun 1987.
- Muhākamat al-Nidhām Siyāsi di Mesir tahun 1987.
Kesepuluh
manuskrip itu amat berpengaruh, terutama buku “Farîdah Ghāibah”
dalam pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan radikal. Garis argumen ke-10
manuskrip memperkuat argumen-argumen Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna. Respon
politik atas penguasa lokal telah mendorong karya-karya tafsir dan teologi dan
karya-karya itu memberi kekuatan tindakan bukan saja karena ayat-ayat serta
hadis-hadis yang bertebaran di sana-sini, tetapi juga karena karya-karya itu
telah ‘menggantikan’ kesadaran moral al-Qur’an.
Karya-karya itu memiliki pengaruh
pada gerakan radikalisme global yang memunculkan gerakan-gerakan kekerasan
sebagaimana diwakili oleh Osamah bin Laden, Musab al-Zarqawi, Ayman
al-Zawahiri, Omar Abdurrahman, hingga Amrozi, DR. Azahari, Imam Samudera, dan
para pelaku pemboman Madrid, dan peristiwa 11/9 yang meluluhlantakkan WTC dan
Pusat Militer Amerika di Manhattan pada 2001.
Di Indonesia sendiri, sikap radikal
cukup merepotkan pemerintah dan ‘memalukan’ organisasi Islam seperti NU,
Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain yang merasa tersinggung oleh pelabelan
teroris pada umat Islam kebanyakan oleh Barat dan non-Muslim. Kasus kekerasan
yang terjadi di Ambon, Poso, dan daerah-daerah sekitarnya yang melibatkan
Laskar Jihad dan Laskar Yesus menyajikan sebuah panorama kekerasan atas nama
agama. Logika manusia beradab menolak semua gagasan dan setiap tindakan yang
mengatasnamakan kesucian agama dan Allah untuk tujuan-tujuan terorisme dan
pembuat kekacauan di masyarakat.
E. Penutup
Kritik
Islam atas kekerasan sangat jelas. Islam menegaskan bahwa keselamatan semua
umat manusia adalah perwujudan sikap dan akhlaq al-Qur’an. Banyak ayat-ayat
yang menyajikan kedamaian, persaudaraan, keadilan, dan keakraban bukan saja
dengan sesama manusia tetapi juga dengan semua makhluk ciptaan Allah. Contoh
ayat yang terkait dengan argumen-argumen ini cukup banyak. Antara lain adalah
larangan membunuh jiwa dan melampaui batas (QS, al-Isrā’/17:33), bunuh diri (QS, al-Nisā’/4:29), dan lain-lain.
Sekelumit
prinsip perlindungan pada makhluk non-manusia (spesies binatang dan pohon) di
atas memperlihatkan perhatian Islam pada kebaikan makhluk lain sebagai bentuk
dan perwujudan rahmatan lil-alamin. Pertanyaannya, jika terhadap binatang saja
Islam sangat perhatian dan memberikan prinsip-prinsip perlindungan bagaimana
terhadap manusia yang memiliki kesadaran, akal, dan perasaan ketuhanan? Saya
yakin bahwa tanpa alasan yang dibenarkan oleh al-Qur’an dan akal sehat manusia,
kekerasan tidak boleh hidup dan tumbuh dalam moral Islam. Jangan sampai ada
tindakan-tindakan kekerasan atas nama ajaran Islam, karena Islam tidak
mentolerir tindakan-tindakan yang melawan hati nurani dan moral kemanusiaan.
Karena
itu, makna jihad dan perang harus ditafsir ulang. Sebagaimana ‘pembekuan’ ayat
tentang persetubuhan terhadap budak-budak perempuan yang dihalalkan tanpa
menikah sebagaimana disebut dalam QS al-Ma’ārij/70:30, maka ayat-ayat perang dan jihad harus
dikontekstualkan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, perdamaian, kerjasama,
dan semangat jaman. Makna jihad bukan selalu bersifat fisik, tetapi juga
bersifat ruhani atau pengendalian diri atas nafsu-nafsu jahat dan destruktif.
Inilah yang disebut sebagai jihad akbar. Jihad fisik berupa peperangan dan
kerja-kerja fisik ternyata bukan dianggap sebagai jihad agung (seperti yang
dikira Amrozi, Imam Samudera, dan pelaku bom bunuh diri di WTC) tetapi Cuma
jihad mini atau jihad kecil (jihad asyghar). Jihad akbar (al-jihad
al-akbar) adalah justru terkait dengan penjagaan hati. Ini masuk akal
karena pengendalian hati atau nafsu lebih berat tetapi implikasinya sangat
besar bagi keselamatan banyak orang.
Jihad akbar dalam
bentuk yang lebih luas dapat dimanifestasikan melalui kerja-kerja strategis
seperti peningkatan pendidikan umat, pemberdayaan masyarakat, pengentasan
kemiskinan, pengabdian pada penelitian, bergelut dalam prestasi-prestasi
ilmiah, membangun ekonomi umat, dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Lapangan jihad akbar begitu luas dan menanti peran setiap individu muslim.
Jihad akbar adalah perwujudan dari kerja keras atau sungguh-sungguh yang
nilainya lebih abadi dan permanen. Jihad akbar inilah yang harus dikembangkan
dalam kehidupan manusia ketika ancaman krisis lingkungan makin mengancam
kepunahan ras manusia, termasuk ancaman-ancaman perang nuklir yang dapat
membunuh ras manusia secara kolosal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Seyyed M. Naguib. Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ABIM Press, 1978).
Abdullah, Mudhofir dan Syamsul Bakri. Memburu
Setan Dunia: Ikhtiar Meluruskan Persepsi Barat dan Islam tentang Terorisme (Yogyakarta:
Suluh Press, 2005).
Abdullah, Mudhofir. “Soeharto dan Ideologi Orde Baru”
dalam Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (Yogyakarta:
Galang Press, 2008).
Al-Bukhary, Muhammad bin Ismail. Shahi al-Bukhary (Kairo:
al-Maktabah al-Salafiyyah, 1400).
Al-Qur’an al-Karim
Al-Qurthūbî, Abū Abdillāh Muhammad bin Ahmād. Al-Jāmi’
lil-Ahkām al-Qur’ ān (Mihr: Dar al-Katib al-‘Araby, 1967), Jilid XIV.
Ali, Abdurrahim. Sepuluh Dokumen JI &
Tandzimul Jihad di Mesir: Jihad Melawan Pemerintah Kafir dan Kaum Nasrani, terj.
Muhtarom (Jakarta: Pustaka Azhary, 2006).
Al-Na’im, Abdullah Ahmed. Towards an Islamic Reformation: Civil
Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse: Syracuse
University Press, 1990).
‘Arabi, Ibn. Al-Futūhāt
al-Makkiyah, Edisi Usman Yahya (Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah
lil-Kuttāb, 1972).
Al-Sayyid, R. “Minal Syu’ub wal qabā’il ilāl umma. Dirāsāt fî takawwun
mafhum al-umma fil islām” dalam Al-Umma wal-Jama’ah.
Bellah, Robert N. (ed.), Beyond Belief (New York: Harper &
Row, edisi paperback, 1976).
Booth, Ken and Tim Dunne (eds.). Worlds in
Collision: Terror and the Future of Global Order (New York: Palgrave
Macmillan, 2002).
El-Fadl, Khaled Abou, The Place of Tolerance in
Islam, Joshua Cohen and Ian Lague (eds.), (Boston: Beacon Press, 2002).
Espito, John L. The Islamic Threat: Muth or
Reality? (New York: Oxford University Press, 1992).
Fromm, Erich. Akar
Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, terj. Imam
Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, cet. I).
Goleman, Daniel. Emotional Intellegence,
Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ, terj. T.
Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), cet. ke-9.
Haikal, Husein. Sîrah Nabawiyah (Kairo:
Maktabah al-‘Arabiyah, 1960).
Harris, Sam. The
End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York, London:
2005).
Hassan, Muhammad Haniff. Unlicensed To Kill:
Countering Imam Samudra’s Justification for the Bali Bombing (Singapore,
2005).
Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, terbit dalam banyak edisi
dan tafsir yang saya kutip mengikuti ayat dari QS 10: 99.
Katsir, Ibn. Tafsîr al-Qur’ān al-‘Adzîm, CD-ROM.
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban:
Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta:
Paramadina, 1992).
-----------------------. Islam Agama Peradaban:
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 2000, cet. II).
Marlow, Louise. Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought (Cambridge:
Uninersity of Cambridge Press, 1997).
Marty, Martin & Scott Appleby (eds.). Fundamentalisms
Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991).
Murata, Sachiko. The Tao of Islam, terj.
Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1996).
Qaradhawi, Yusuf. Ghoirul Muslimin fil Mujtama’ al-Islami (Kairo:
1977).
----------------------. “Extremism” dalam Charles Kurzman, Liberal
Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998).
----------------------. Ri’āyat al-Bî’ah fî Syarî’at al-Islām (Qāhirah:
Dar al-Surūq, 2001).
Quthb, Sayyid. Fî Dzilāl al-Qur’ān (Beirut:
Dār al-‘Arabiyyah, t.t.), Jilid I.
Rahman, Fazlur. The Major Themes of the Qur’an (Minneapolis,
Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980).
Ramadan, Tariq. Teologi Dialog Islam-Barat:
Pergumulan Muslim Eropa (Bandung: Mizan, 2002).
Silas, Muhammad, Islam, and Terrorism dalam http://www.answering-islam.org/Silas/terrorism.htm
Syaltut, Mahmud. Islam Aqidah wa Syari’ah (Cairo: Dar al-Qalam,
1966).
Soros, George. Open Society: Reforming Global
Capitalism (New York: Public Affairs, 2000).
Syu’aibi, Ali. Sayyid Quthb, Dā’iyat al-Irhāb wa
al-Takfîr wa al-Dām (Mishr: Dār al-Jumhūriyah, 2004).
Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism:
Political Islam and the New World Disorder (California: University of
California Press, 1998).
----------------. “War and Peace in Islam” dalam
Terry Nardin, ed., The Ethics of War and Peace: Religious and Secular
Perspectives (Princeton, N. J. :Princeton University Press, 1996).
Zohar, Danah & Ian Marshall, SQ: Spiritual
Intellegence, The Ultimate Intellegence (London: Bloomsbury, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar