PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang memiliki hukum yan
kontratietas antara yang satu dengan yang lain sehingga banyak ulama-ulama yang
menyimpulkan hukum dengan pemikirannya sendiri tapi semua itu tidak lepas dari
dasar yang awal atau dari asal mula hukum tersebut seperti halnya dalam
membahas ushul fiqih kita mungkin bahkan sering menemukan ke kontratietas
tersebut.
Ta'arudh al-adillah adalah salah satu pertentangan dalil dalam
ushul fiqih dimana dalil satu dengan dalil yang lain saling bertentangan, maka
penulis mengajak pembaca mempelajari tentang pertentangan-pertentangan tersebut (ta'arudh al-adillah) semoga dan kita mengetahui dalil-dalil
tersebut (dalil yang benar) kita tidak terjerumus dalam jalan yang salah.
Latar Belakang
A. Pengertian ta'arudh al-adillah
B. Cara menyelesaikan ta'arudh al-adillah
C. Pendapat para ulama dalam penyetaranya
MASALAH TA'ÂRUDH AL-ADILLAH
(PERBENTURAN DALIL)
A. Pengertian Ta`ârudh al-adillah
Secara etimologi, ta'ârudh ( التعارض ) berarti "pertentangan" dan adillah ( الأدلة ) adalah jamak dari dalil (الدليل ) yang berarti "alasan, argumen dan
dalil." Persoalan ta'ârudh al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqh,
ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil
lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh tentang ta'ârudh al-adillah:
1. Imam al-Syaukani, mendefinisikannya dengan
"suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan sedangkan
dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu."
2. Kamal ibn al-Humam (790-861 H/1387-1456 M.)
dan al-Taftazani (w. 792 11.), keduanya ahli fiqh Hanafi, mendefinisikannya
dengan "pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan kompromi
antara keduanya."
3. 'Ali Hasaballah (ahli. ushul fiqh kontemporer
dari Mesir) mendefinisikannya dengan "terjadinya pertentangan hukum yang
dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya,
yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat."
Pengertian satu derajat adalah antara ayat
dengan ayat atau antara Sunnah dengan Sunnah. Contoh pertentangan dalam ayat
al-Qur'an adalah seperti ketentuan tentang 'iddah wanita yang kematian suami.
Firman Allah dalam surat al-Bagarah, 2: 234, menyatakan bahwa wanita-wanita yang
kematian suami 'iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan
antara wanita itu hamil atau tidak. Secara umum Allah menyatakan bahwa, apabila
seorang wanita kematian suami, maka 'iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari.
Dalam surat al-Thalaq, 65: 4, Allah menyatakan bahwa wanita yang
hamil 'iddahnya sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan
antara cerai hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini
mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai
hidup maupun cerai mati, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian,
terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang
kematian suami.
Contoh lain dari hadits Rasulullah saw. adalah
dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah saw. dinyatakan bahwa:
لاَرَيْباً إِلاَّ فِى
النَّسِيْئَةِ
Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah [riba yang muncul dari utang
piutang] (H.R.al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi'ah, yaitu riba yang berawal dari pinjam meminjam
uang. Dengan demikian, riba al-fadl (riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik
jual beli dan transaksi lainnya), tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadits
lain Rasulullah saw, menyatakan:
لاَتَبِيْعُ الْبُرَّ
بِالْبُرِّ إِلاَّ مَثَلاً بِمَثَلٍ
Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang
sama.. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan
Ahmad ibn Hanbal)
Hadits ini mengandung hukum bahwa riba al-fadl diharamkan. Antara
kedua hadits tersebut terkandung pertentangan hukum dalam masalah riba
al-fadl. Hadits pertama membolehkan, dan hadits kedua mengharamkan.
kedua hadits tersebut terkandung pertentangan hukum dalam masalah riba
al-fadl. Hadits pertama membolehkan, dan hadits kedua mengharamkan.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan antara
kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan
kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya; bukan pertentangan
aktual, katena tidak mungkin terjadi Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan-aturan
yang saling bertentangan.
Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syathibi, pertentangan itu bersifat semu, bisa
terjadi dalam dalil yang qath`i(pasti benar) dan dalil yang zhanni (relatif benar), selama kedua dalil itu dalam satu derajat.
Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda, Seperti
pertentangan antara dali yang qath'i dengan yangzhanni, maka yang diambil adalah dalil yang qath'i, atau apabila yang bertentangan itu ayat al-Qur'an dengan hadits âhâd (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang lebih
yang tidak sampai ke tingkatmutawatir), maka dalil yang diambil adalah al-Qur'an, karena dari segi
periwayatannya ayat-ayat al-Qur'an bersifat qath'i, sedangkan hadits âhâd bersifat zhanni.
Di camping itu, menurut Wahbah al-Zuhaili,
pertentangan tidak mungkin muncul dari dalil yang bersifatfi'liyyah (perbuatan), seperti dalil yang menunjukkan
Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada lagi dalil lain yang menyatakan
bahwa pada hari itu ia juga berbuka.
B. Cara Menyelesaikan Ta'ârudh al-Adillah
Apabila seorang mujtahid menemukan adanya dua
dalil yang bertentangan, maka ia
dapat menggunakan dua cara penyelesaiannya. Kedua cara itu, dikemukakan
masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi'iyyah.
1. Menurut Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengemukakan
metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara:
a. Naskh
Naskh ( النسخ ), adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan
adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum pertama. Dalam
hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya
kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya satu dalil muncul lebih dahulu
dari dalil lainnya, maka yang ia ambil adalah dalil yang datang kemudian.
Dalam kasus pertentangan ayat yang berbicara tentang 'iddah wanita di atas, misalnya, menurut Jumhur ulama, 'Abdullah ibn Mas'ud (sahabat)
meriwayatkan bahwa ayat kedua, yaitu yang menyatakan bahwa 'iddah wanita hamil
sampai melahirkan (al-Thalaq, 65: 4), datang kemudiati dibanding ayat dalam surat al-Baqarah, 2: 234 yang menyatakan bahwa wanita kematian
suami 'iddahnya 4 bulan 10 hari. Oleh sebab itu, ayat 4 surat al-Thalaq me-naskh-kan (membatalkan) hukum 4 bulan 10 hari untuk
wanita hamil yang tercantum dalam ayat 234 surat al-Baqarah.
b. Tarjih
Tarjih ( الترجيخ ), adalah menguatkan salah satu di antara dua
dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya.
Apabila masa turunnya/datangnya kedua dalil tersebut tidak diketahui, maka
seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan.
Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itu pun mujtahid tersebut harus mengemukakan
alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu, bisa dilakukan dari tiga sisi:
1) Penunjuk kandungan lafal suatu nash. Contohnya, menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-naskh-kan (dibatalkan)
dari mufassar (hukumnya pasti tetapi masih bisa di-naskh-kan).
2) Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang
mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
3) Dari sisi keadilan periwayat suatu hadits.
c. Al-Jam'u wa al-Taufiq
Al-Jam'u wa al-Taufiq ( الجمع والتوفيق ), yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian
mengkompromikannya. Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa
diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyyah dalil-dalil itu dikumpulkan dan
dikompromikan. Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil
hukumnya, karena kaidah fiqh mengatakan, "mengamalkan kedua dalil lebih
baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain." Misalnya,
Rasulullah saw, bersabda:
اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ؟ هُوَ
الَّذِى يَأْتِى بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا (رواه مسلم)
"Bukankhh saya telah memberitahu kamu sebaik-baik
kesaksian? Yaitu kesak sian yang diberikan seseorang sebelum diminta menjadi
saksi. (H.R. Muslim).
Maksudnya, kesaksian yang baik itu adalah
kesaksian seseorang di hadapan peradilan yang ia berikan tanpa diminta, baik
itu kesaksian dalam hak-hak Allah maupun dalam kasus yang menyangkut hak
manusia.
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah
menyatakan,
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهَا ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهَا ثُمَّ يَكُوْنُ قَوْمٌ يَشْهَدُوْنَ
وَلاَيُسْتَشْهَدُوْنَ وَيَخُوْنُوْنَ وَلاَيُؤْتَمَنُوْنَ… (رواه البخارى ومسلم)
Sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian generasi
sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu setelah itu orang-orang
akan memberikan kesaksiannya (di depan hakim) tanpa diminta, sedangkan mereka
tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat serta tidak dapat
dipercaya. (H.R. al-Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini mengandung pengertian bahwa pada
suatu generasi nanti akan muncul orang-orang yang berusaha menjadi saksi
sementara mereka sendiri tidak menyaksikan peristiwa yang disidangkan itu.
Dalam pertentangan antara kedua hadits ini,
maka hadits pertama bisa diartikan dengan kasus-kasus yang terkait dengan hak
Allah dan kesaksian dalam hadits kedua menyangkut hak-hak manusia.
Contoh lain adalah dalam masalah darah yang
haram dikonsumsi. Dalam surat al-Ma'idah, 5: 3, Allah berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّامُ…
Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah...
Darah dalam ayat itu tidak membedakan antara
darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku seperti hati.
Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:
إِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ
مَيْتَةً اَوْ دَامًا مَسْفُوْحًا…
... kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang
mengalir... (Q.S. al An'am, 6: 145)
Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang
diharamkan itu adalah darah yang mengalir. Dengan demikian, darah yang
diharamkan secara mutlak
dalam surat al-Ma'idah, 5: 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An'am, 6: 145. Dengan demikian, pengkompromian antara dalil-dalil
yang secara lahirnya bertentangan dapat diselesaikan.
d. Tasâqut al-Dalîlain
Tasâqut al-Dalîlain yaitu menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan. Apabila cara ketiga di atas tidak bisa juga dilakukan oleh
seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut; dalam arti
ia merujuk dalil lain yang tingkatannya di bawah derajat dalil yang
bertentangan tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa di-naskh atau di-tarjih atau dikompromikan itu adalah antara dua ayat,
maka seorang mujtahid boleh mencari dalil lain yang kualitasnya di bawah ayat
al-Qur'an, yaitu Sunnah. Apabila kedua hadits yang berbicara tentang masalah
yang ia selesaikan itu juga bertentangan dan cara-cara di atas tidak bisa juga
ditempuh, maka ia boleh mengambil pendapat sahabat bagi mujtahid yang
menjadikannya dalil syara' atau menetapkan hukumnya melalui qiyas(analogi), bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat.
Seorang mujtahid, menurut ulama Hanafiyyah,
hanya dibolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah
melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi.
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas, harus dilakukan
secara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat.
2. Menurut Syafi'iyyah, Malikiyyah dan
Zhahiriyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang
bertentangan menurut ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Zhahiriyyah adalah
sebagai berikut:
a. Jam'u wa al-Taufiq
Ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah
menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan
mengkompromikan kedua dalil tersebut; sekalipun dari satu sisi saja. Alasan
mereka adalah kaidah fiqh yang dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu
"mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu
diantaranya." Mengamalkan kedua dalil; sekalipun dari satu segi, menurut
mereka ada tiga cara, yaitu:
1) Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa
dibagi, maka dilakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila, dua orang
saling menyatakan bahwa rumah "A" adalah miliknya maka kedua pernyataan
itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap
sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, karena barang yang dipersengketakan
adalah barang yang bisa dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua
rumah tersebut.
2) Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu
yang berbilang, seperti sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:
لاصلاة لجار المسجد إلا فى المسجد (رواه أبو
داود وأحمد بن حنبل)
Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid. (H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal)
Dalam hadits ini ada kata "la" yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa
berarti "tidak sah," bisa berarti "tidak sempurna" dan bisa
berarti "tidak utama." Oleh sebab itu, seorang mujtahid boleh memilih
salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain:
3) Apabila hukum tersebut bersifat umum yang
mengandung beberapa hukum, seperti kasus 'iddah bagi wanita hamil di atas, atau kasus persaksian yang terdapat dalam
hadits di atas. Surat al-Baqarab, 2: 234 bersifat umum dan surat al-Thaldq, 65: 4 bersifat khusus, maka
dari satu sisi 'iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan
surat al-Thalaq, 65: 4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara ini
dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.
b. Tarjîh
Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang
mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil
berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata tarjîh yang dikemukakan oleh
para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara. Umpamanya, dengan mentarjîh dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang
dari dalil yang perawinya sediltit, bisa juga melalui pen-tarjîh-an
sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjîh-an dari sisi matan
(lafal hadits), atau ditarjîh berdasarkan indikasi lain di luar nash.
c. Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil
tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan
membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat
harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang
kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti
sabda Rasulullah saw.:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ
أَلاَ فُزُوْرُوْهَا (رواه مسلم)
Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi
sekarang ziarahilah. (H.R. Muslim).
Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana
hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh
menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena 'illat (motivasi) larangan dilihat Nabi saw. tidak ada lagi.
d. Tasâqut al-Dalîlain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak
bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan
berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang
bertentangan tersebut.
Menurut ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah dan
Zhahiriyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar