FILSAFAT
KENEGARAAN
AL - FARABI
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu
Raden Lukman Faurois,s.ag.m.ag
Disusun oleh :
Joko Wahyono 121111022
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SURAKARTA
2012/2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Abu
Nashr bin Audagh bin Thorhan al-Farabi (w. 339 H/950 M), biasa disebut
al-Farabi, adalah salah satu cendekiawan muslim (filosof) yang memiliki konsep
kenegaraan cukup baik. Konsep ini dikemas dengan bungkus al-madinah
al-fadhilah, the best country atau juga negara ideal.Inti filsafat
kenegaraan al-Farabi, seperti diuraikannya dalam karya Ara' Ahl al-Madinah
al-Fadhilah, berupa autokrasi dengan seorang raja (kepala negara) berkuasa
mutlak mengatur tatanan negara. Karenanya, sebagaimana Plato sang idolanya,
al-Farabi mengecam negara yang dibangun di atas landasan demokrasi. Menurut
al-Farabi, negara yang baik adalah negara yang rakyatnya tunduk patuh pada
kepala negara. Ini seperti posisi para shahabat di depan Nabi Muhamamd SAW
sebagai pemimpin mereka.
Dalam
hal ini, al-Farabi membedakan negara menjadi lima kategori, negara utama (al-madinah
al-fadhilah),negara sesat (al-madinah al-dhalalah)
negara jahil (al-madinah
al-jahilah),Negara
Fasik (al-madinah al-fasiqah)
negara
massa (al-madinah al-mutabadilah).
Pada
makalah yang saudara pegang ini akan membahas kelima kategori tersebut.
Dari
pengertiannya sampai pada definisinya,dan latar belakang munculnya filsafat politik
dan kenegaraan al farabi ini.semoga makalah ini
dapat memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih mudah dan mendetail.
Segala
yang benar hanya milik Allah SWT sedangkan salah penulislah yang salah.
Saran
dan kritik diharapkan untuk meminimalisir kekurangan yang ada pada makalah
ini,sekian dan trima kasih.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu
Auzalagh,lebih tepatnya Al-Faribi. Lahir di wasij, Distrik farab, Turkistan
pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia dan ibunya
berkebangsaan turki. Al-Faribi dalam usia 40 tahun pergi ke baghdad,yang saat
itu sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengatuhan. Pada tahun 330 H/945 M, ia
pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan
Dinasti Hamdan di Aleppo[1].
Dari baghdad pergi ke damaskus beliau menetap selama 20 tahun,baliau meninggal
pda tahun 339 H/950 M di usianya yang 80tahun.Ketika tinggal di damaskus
Al-Farabi menjalani hidup menyendiri, ‘uzlah, dalam sebuah taman sejuk nan
indah. Di situ dia menerima para tamu dan disitu pula dia mengajar para murid
dan menulis karya-karyanya. Karyanya baru tersebar luas di dunia timur pada
abad 4 dan 5 hijriyah. Baru setelah itu andalusia di dunia barat[2].
Pada masa Al-Farabi keadaan politik dan militer
Daulah Abbasiah relatif tidak stabil. Di saat itu munculah karya Al-farabi yang
tergolong monumental Ara’ ahl al-madinah al-fadhilah. Di dalam karya
tersebut dia membahas hubungan antara teologi dan poltik yang pada saat itu
jarang dibicarakan orang. Karya tersebut merupakan refleksi dari uraian plato
tentang republic yang digambarkan dalam bentuk kota utama.[3]
Salain itu kekuatan politik Islam
yang berkuasa bersifat heterogen.hal Itu dilihat dari kemerosotan kejayaan
Dinasti Abassiyah di Bagdad secara politis,Kondisi politik seperti inilah yang
agaknya menjadi faktor utama yang mempengaruhi pada pemikiran politik
al-Farabi.
1.2 PEMIKIRAN
TENTANG ASAL-USUL NEGARA DAN WARGA NEGARA
Menurut
Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat
terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan
(asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah
suatu Negara. Menurut Al-Farabi, Negara merupakan suatu kesatuan masyarakat
yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain:
sandang, pangan,papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban
masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.
Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan
yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama[4].
Keberadaan
warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat,corak
serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara
ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin
negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.[5]
Negara Utama
dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami,
pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada
tiga klasifikasi utama:
Pertama, jantung. Jantung merupakan
organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ
lainnya.
Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.
Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.
Al-Farabi
membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:
a)
Negara Utama
(Al-Madinah Al-Fadilah):
Pada lingkupnya
yang lebih khusus tentang ini, al-Farabi sebenarnya memformulasikan gagasan
kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama. Pertama,
konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep
kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan.
Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam
kitabnya As-Siyasah
al-Madaniyah cukup memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa
manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim)
untuk menemukan kebahagiaan mereka. Dengan begitu, kerangka dasar yang
membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di
mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang
pemimpin yang memiliki keutamaan penuh. Yamani menyebut pemimpin macam ini
sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa
kualifikasi[6].
Yang kemudian dari konsep ini (kepemimpinan) al-Farabi melilitkan konsep
kebahagiaan padanya. Bahwa tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk
meraih kebahagiaan.
Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini,
al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya
kecenderungan manusia. Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya
untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan
lain berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, seperti yang dikatakan
Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politikon, secara alamiah
mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus
berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah
komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan.
Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi
mengkategorikan orang menjadi tiga[7],
pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya
dipimpin. Dan kota utama dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi. Pemimpin
macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan mentalnya[8].
Dalam konsep Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki oleh
seseorang dengan tingkatan Nabi. Meski
dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun pada umumnya mengalami sebuah
kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan hampir semuanya tidak pernah
berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal dan dengan
kecenderungan memiliki umat yang durhaka. Sampai pada Nabi terakhir, Muhammad
SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru menemukan bentuknya. Dengan
keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat Arab, agaknya dapat disebut
bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah kota utama di bawah
kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi memiliki potensi yang
sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas yang mereka miliki. Dan
sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil mengaktualkan potensi itu adalah
Muhammad SAW.
Sedang dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin
yang dapat membentuk sebuah kota utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi
juga Imam-imam, yang meski dalam sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam
yang dapat membentuk sebuah kota utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama
itu pada masanya nanti akan dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi
al-Muntazar, Imam terakhir mereka).
Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama
terbentuk, tugas para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas
penduduknya agar tetap pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang
tercipta pun berjalan harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama,
spesialisasi penduduknya memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat
mengatur ini dengan baik.
Tujuan kota utama adalah kebahagiaan. Baik
secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan kebahagiaan bagi
penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk membimbing dan
menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu
.
b)
Negara
Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahiliyah):
negara
yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.Negara jahiliyah yang merupakan
lawan bagi Negara utama, yang dimaksud disini adalah Negara yang warganya tidak
mengetahui kebahagiaan yang sebenarnya, karena mengartikan kebahagiaan dengan
segala hal yang secara superficial dianggap baik dan merupakan tujuan dari pada
hidup itu sendiri seperti kesenangan, kemakmuran, kesehatan tubuh, kebebasan
memenuhi hasrat, dll.Al-Farabi membagi Negara jahiliyah menjadi enam bagian:
pertama, Negara kebutuhan dasar, Negara
yang menganggap kebutuhan dasar manusia adalah suatu kebahagian, bagi mereka
orang yang mampu menguasai menejemen untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan
adalah orang yang pantas dijadikan pemimpin. Singkatnya Negara ini mengartikan
kebahagian dengan terpenuhinya segala kebutuhan yang cenderung material.
Kedua, Negara jahat yaitu Negara kebutuhan
dasar dalam tingkat ekstrim, bagi penduduknya kebahagiaan hanya merupakan
hal-hal yang material.
Ketiga, Negara rendah yaitu kata yang para
penduduknya hanya menuntuk kesenangan-kesenangan belaka yang sekedar berguna
bagi kebutuhan hidup.
Keempat, Negara kehormatan yaitu Negara
yang hanya memprioritaskan kehormatan dan pujian belaka dari bangsa-bangsa lain
yang tujuannya tak lain hanya ingin mendapatkan sanjungan belaka.
Kelima, Negara kekuasaan yaitu Negara yang
haus akan kekuasaan yang mengartikan kebahagiaan dengan menguasai Negara-Negara
selainnya.
Yang Keenam adalah Negara demokratik,
Negara yang tujuan hidupnya adalah kebebasan, yang penduduk boleh melakukan
segala hal tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya.
c)
Negara
Orang-orang Fasik (al-madinah al-fasiqah)
negara
yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan
penduduk negara orang-orang bodoh.
Dalam kata lain Negara fasiq yaitu Negara
yang pada dasarnya mengetahui pengetahuan, kebahagian sejati, terdidik dsb,
akan tetapi mereka tidak berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya dan
diyakininya sebaliknya mereka malah menghendaki kebahagiaan dengan meraih
kebutuhan-kebutuhan seperti Negara jahiliyah.
d)
Negara yang
Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah):
pada
awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk
negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
e)
Negara Sesat
(Al-Madinah Ad-dallah):
negara
yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia
menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
BAB III
PENUTUP
Di zaman moderen sekarang para penguasa
tidak ada yang mengklaim dirinya tuhan, tetapi tuntutan-tuntutan mereka tidak
ubahnya dengan tuntutan-tuntutan Tuhan,yaitu kemutlakan kekuasaan atas rakyat
yang diperintah.
Mungkin hal inilah yang patut untuk kita
sebagai penerus bangsa sebagai calon-calon intelek untuk meresapi kemiskinan
moral yang dihadapi bangsa ini.
Dari lima negara yang disimpulkan oleh Al
Farabi di atas entah bangsa ini dapat no berapa,tentunya setiap orang mempunyai
nilai sendiri-sendiri.
Umat islam ini jatuh di mulai sejak
ditinggalkannya sistem khalifah dan dipakainya sistem mulk, atau juga
demokrasi.
Al madudi berkata dalam konsep negaranya
“kedaulatan (souverenitas) ada ditangan Tuhan ‘bukan’ ditangan manusia.seperti
yang digadang-gadang dinegara demokrasi. Dan mungkin inilah yang disampaikan oleh
Al Farabi sebagai filosof “ KEMBALI KEPADA HUKUM ALLAH”
semoga dengan makalah ini kita dapatkan
ibrah yang dapat merubah sudut pandang hidup yang lebih baik. Amiinn...
DAFTAR
PUSTAKA,
Drs. Imam Sukardi.2005.Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi
Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.
Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. 2007.Filsafat Islam (filosof dan
filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Yamani,2002 Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, Bandung: Mizan
[1] Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar,
M.A. Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada.
Jakarta.2007.hal 65-66
[2] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi
Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005 hal 7-8
[3] Idem hal 17
[4] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi
Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005
[5] idem
[6] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
[7] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002 hal 61
[8] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002 hal 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar